Tidak dapat disangkali, Rudolf Bultmann[1]
adalah tokoh penting dalam pergulatan iman dan teologi pakar-pakar PB,
pakar-pakar teologi sistematika,[2]
maupun jemaat awam.[3]
Signifikansi pemikiran Bultmann terlihat dari pengaruh yang diberikannya atas
dua “School of Thought” yakni gerakan Yesus Sejarah[4]
dan New Perspective.[5]
Dalam konteks Yesus Sejarah, Bultmann dipandang sebagai salah satu
pelopor dari gerakan Yesus Sejarah. Bultmann sebenarnya tidak sependapat dan
menentang usaha untuk mensejarahkan Yesus berdasarkan literatur PB yang
bersifat “kerygmatis,” namun pemikiran dan metoda yang digunakan Bultmann
(Kritik Bentuk dan Kritik Sastra)[6]
ternyata dijadikan sebagai sumber utama dalam penggalian Yesus sejarah.[7]
Bultmann sebenarnya memandang penelitian kesejarahan Yesus tidaklah penting,
mengapa demikian? Sebab (1) tidaklah mungkin menggali kesejarahan Yesus; (2)
bagi gereja mula-mula bagaimana Yesus aslinya tidaklah penting.[8]
Dalam konteks New Perspective, signifikansi Bultmann nampak dalam
tuduhan dari kelompok New Perspective bahwa Bultmann-lah yang telah membawa
baik pakar-pakar PB maupun umat Kristiani salah dalam membaca dan memahami
pergumulan Rasul Paulus dan Yudaisme era tersebut.[9]
Bultmann-lah yang dianggap telah membawa kekristenan untuk memandang Yudaisme
sebagai agama yang legalis atau ‘self righteousness,’ dan menginterpretasikan
Paulus sedang melawan ajaran ini.
Untuk memahami Bultmann, kita harus memahami latar belakangnya
terlebih dahulu. Hal apakah yang sebenarnya digumulkan oleh Bultmann? Bultmann
sedang bergumul dengan ajaran Liberalisme yang naturalis.[10]
Liberalisme mencoba untuk merasionalisasikan semua hal yang bersifat
supranatural dalam Alkitab. Bultmann tidak sependapat dengan liberlisme; jika
liberalisme memandang ada bagian-bagian tertentu dalam kitab suci yang berisat
“mitos” sebab berbau supranatural, namun bagi Bultman hampir semua bagian dari
kitab suci (maksudnya PB) adalah sebuah mitos. Mitos yang Bultmann maksudkan
tentu menunjuk pada cerita yang dibuat berdasarkan keyakinan. Oleh karena semua
bagian kitab suci merupakan sebuah mitos, maka kita tidak tidak bisa dan tidak
perlu untuk merasionalisasikan kisah-kisah itu supaya dapat diterima oleh akal,
namun harus mereinterpretasi cerita-cerita itu sebagai sebuah pengalaman.
Sebagai contoh, saat Bultmann membicarakan mengenai kebangkitan,
Bultmann memandang kisah kebangkitan merupakan sebuah mitos (kisah keyakinan).
Kita tidak mungkin dapat mengetahui bagaimana rincian historisnya. Meskipun
demikian, kita dapat mengetahui bahwa kebangkitan yang sebenarnya, yang
diceritakan dan direpresentasikan dalam kisah kebangkitan, terjadi dalam
kebangkitan murid-murid Yesus dari orang-orang yang terpuruk dan kecewa dengan
kematian Yesus, kemudian menjadi orang-orang yang bersemangat bahkan antusias
dalam memberitakan kebangkitan Yesus. Jadi, kebangkitan yang sejati, yang
diperlihatkan oleh kisah kebangkitan, pada dasarnya adalah kebangkitan
moral/semangat dari murid-muridnya.
Teologi Bultmann dipengaruhi oleh existensialisme dan dualisme.
Existensialisme adalah sebuah gerakan/falsafah yang mengukur kebenaran
berdasarkan pengalaman. Dualisme adalah sebuah cara berpikir yang hitam putih,
yang melihat kebenaran hanya dari dua sisi. Salah satu pengaruh dualisme dalam
interprteasi Bultmann nampak dalam konsep Bultmann mengenai manusia. Bultmann
melihat Paulus memiliki pandangan yang dualistis terhadap manusia. Paulus,
menurut Bultmann, memandang manusia pada dasarnya sebagai ciptaan yang sangat
bergantung kepada sang pencipta. Upaya manusia untuk mencoba berdiri sendiri
adalah sebuah dosa dihadapan Allah, sebaliknya upaya untuk “meniadakan diri”
adalah jalan pembenaran bagi manusia. Contoh Alkitab yang menegaskan hal ini
adalah Galatia
2:19-21. Dari sini kita melihat bahwa konsep dualisme Bultman mempengaruhi cara
pandangnya terhadap antropologi Paulus.
Bultmann juga
memandang manusia itu hidup dalam daging. Kehidupan manusia dalam daging adalah
kehidupan manusia yang berlawanan dengan kehidupan yang mengandalkan Allah.
Itulah sebabnya bagi Bultmann, hidup mengandalkan diri sendiri adalah sebuah
dosa, sebab berlawanan dengan mengandalkan Allah.
Bultmann memandang
hukum-hukum Allah adalah baik, seseorang yang mencari Allah dan mentaati
hukum-hukum Allah dengan motif untuk hidup mengandalkan Tuhan, akan membuat
orang tersebut hidup. Dalam Yudaisme Bultmann melihat orang-orang Yahudi
mentaati hukum-hukum Allah, bukan dengan motivasi yang demikian. Mereka
mentaati hukum-hukum Allah karena menyangka melalui hal tersebut maka mereka
akan diterima oleh Allah. Motiv seperti ini menurut Bultmann tidak benar dan
berdosa.
Itulah sebabnya
juga bagi Bultman “zeal for the law” dalam Yudaisme pada dasarnya adalah
kedagingan, sebab jerih lelah dan komitmen untuk melakukan hukum Tuhan itu pada
dasarnya adalah pengandalan diri manusia.
Pengaruh
Existensialisme dalam interpretasi Bultmann, nampak saat Bultmann membaca Roma
7-8 yang dipahami dalam konteks pergumulan individual. Demikian juga dengan Galatia 2:16-17
yang dipahami dalam konteks pergumulan iman personal (Paulus).
Apakah pengaruh
dari pemikiran Bultmann? (1) Cara pandang/cara membaca yang dualisme, yang
memisahkan antara perbuatan dan anugerah, antara iman dan ketaatan
memperngaruhi interpretasi para pakar PB, pakar sistematika maupun umat
Kristen. (2) Cara berpikir/cara membaca Bultmann mengenai kerangka berpikir dan
pergulatan Rasul Paulus yang dilihat dari konteks pergumulan individu
mempengaruhi cara pandang dan interpretasi para pakar PB, pakar Sistematika,
bahkan umat Kristen.
Apakah yang menjadi kelemahan pemikiran Bultmann? (1) tidak bisa
dihindari bahwa falsafah existensialisme dan dualisme mempengaruhi cara
Bultmann dalam menginterpretasi teks; (2) Bultmann salah paham mengenai
kelompok Farisi; (3) Menurut Sanders, Bultmann tidak kritis, ia hanya mengikuti
pandangan para pendahulunya yakni Adolf Julicher; Adolf Schlatter, Wilhelm
Bousset.
Pelajaran yang dapat kita petik dari Bultmann adalah: (1) Kita harus
berhati-hati dengan konteks berpikir kita; disadari ataupun tidak, falsafah
zaman pasti mempengaruhi cara berpikir kita; itulah sebabnya dalam proses
interpretasi kita harus berusaha meminimalkan pengaruh dari cara bepikir kita
pada cara berpikir penulis Alkitab; (2) Kita harus berupaya membawa sedekat
mungkin pikiran kita kepada cara berpikir penulis Alkitab.
[1] Rudolf Bultmann lahir 1884 di Jerman, ia belajar di Universitas
Tubingan, dan kemudian menjadi guru besar di Universitas Marburg sampai ia
pensiun, dan ia meninggal pada tahun 1976.
[2] Jika kita membaca buku-buku Teologi Sistematika, Bultmann biasanya
dikategorikan sebagai teolog modern, teolog eksistensialis bahkan teolog
Liberal. Penggunaan istilah teolog Liberal untuk Bultmann sebenarnya salah
sasaran sebab Bultmann pada dasarnya melawan pandangan Teologi Liberal.
[3] Contoh pengaruh pemikiran Bultmann bagi jemaat gereja adalah cara
pandangan yang psikologis terhadap konsep daging dan roh.
[4] Pada saat membicarakan Yesus Sejarah, para ahli biasanya membagi
gerakan ini menjadi tiga generasi yakni generasi Albert Schweitzer yang pada
tahun 1906 menulis sebuah buku yang terkenal yakni The Quest of Historical Jesus. Schweitzer mengemukakan bahwa Yesus
yang sejarah adalah seorang penganut apokaliptik Yahudi; Generasi kedua dari
Yesus Sejarah dikaitkan dengan Rudolf Bultmann; dan gerenasi ketiga dari Yesus
Sejarah dikaitkan dengan Markus Borg, yang menggunakan pendekatan sosiologis
dalam melihat kesejarahan Yesus.
[5] New Perspective adalah gerakan baru dalam penelitian PB yang
menyerang Bultmann, dan menganggapnya sebagai salah satu sumber kesalahmengertiaan
orang Kristen dalam memahami pemikiran penulis PB.
[6] Kritik Bentuk adalah upaya untuk melihat berbagai jenis/bentuk
sastra yang ada dalam bagian-bagian kitab suci, untuk kemudian dikelompokkan
dan ditentukan “setting” nya dan konteks penggunaannya dalam konteks jemaat
mula-mula. Bdk. Hayes & Holladay, Pedoman
Mentafsirkan Alkitab, 99-100.
[7] Salah satu pakar yang menggunakan kritik bentuk untuk mencari Yesus
Sejarah adalah Joachim Jeremias, ia percaya bahwa kritik bentuk dapat menolong
kita untuk mengupas “layer” demi “layer” dari cerita-cerita iman yang
dikisahkan penulis PB tentang Yesus. Lih. George E. Ladd,Teologi Perjanjian Baru 1, 25.
[8] Bdk. Tony Lane, Runtut Pijar,
237.
[9] Lih. Frank Thielman, Paul
& the Law, 26.
[10] Gerakan Liberalisme pada dasarnya diresponi oleh kelompok pakar
yang disebut sebagai gerakan “kerygmatis.” Salah satu pakar yang dipandang
penting dalam mempopulerkan gerakan ini adalah C. H. Dodd. Kelompok gerakan
“kerygmatis” menegaskan bahwa ada kaitan yang erat dan berkesinambungan antara
gambaran Yesus Iman dan Yesus Sejarah.