New Perspective adalah
sebuah pandangan baru yang mengkritik teologi gereja reformasi dan sekarang telah
menjadi demikian kuat. Seyoon Kim mengomentari New Perspective demikian:[1]
“Since Reformation, I think no school of thought, not even the Bultmannian
School, has exerted a greater influence upon Pauline scholarship than the
school of the New Perspective.” D. A. Carson melihat hal yang sama, ia menulis
demikian: [2]
“This New Perspective is now so strong, especially in the world of English-language
biblical scholarship, that only the rare major work on Paul does not interact
with it whether primarily by agreement, qualification, or disagreement.”
Kim dan Carson mengatakan hal yang tepat. Pandangan
New Perspective mempengaruhi banyak pakar PB dan Yudaisme. James D. G. Dunn,
guru besar (emeritus) University of Durham adalah salah satu pakar PB yang
membela New Perspective dengan setia.[3] Nicholas
T. Wright, pakar PB yang banyak menulis buku dan artikel di seputar PB, juga
memandang New Perspective sejajar
dengan pandangannya.[4] Heikki Ra>isa>nen,[5]
Francis Watson,[6]
Morna D. Hooker,[7]
John M. G. Barclay,[8] Bruce W. Longenecker,[9]
Lloyd Gaston,[10]
Walter G. Hansen,[11]
Richard B. Hays,[12]
John A. Ziesler,[13]
Frank Matera,[14]
Daniel Boyarin,[15]
Alan F. Segal,[16]
Vincent Smiles,[17]
A. Cummins,[18]
Martin G. Abegg[19]
dst, mereka adalah penganut dan pengikut pandangan New Perspective.
Kritik apakah
yang disampaikan oleh pandangan New
Perspective? Para
pakar PB tidak sepakat dalam menentukan pokok kritik mereka. Misalnya, Dunn
mengatakan New Perspective memiliki lima
pokok pikiran, yakni:[20]
(i) It builds on Sanders’ new perspective on Second Temple Judaism,
and Sanders’ reassertion of the basic graciousness expressed in Judaism’s
understanding and practice of covenantal nomism. (ii) It observes that a social
function of the law was an integral aspect of Israel’s covenantal nomism.…
(iii) It notes that Paul’s own teaching on justification focuses largely if not
principally on the need to overcome the barrier which the law was seen to
interpose between Jew and Gentile, so that the ‘all’ of ‘to all who believe’
(Rom 1.17) signifies, in the first place, Gentile as well as Jew. (iv) It
suggests that ‘works of law’ became a key slogan in Paul’s exposition of his
justification gospel because so many of Paul’s fellow Jewish believers were
insisting on certain works as indispensable to their own (and others?) standing
within the covenant, and therefore as indispensable to salvation. (v) It
protests that failure to recognise this major dimension of Paul’s doctrine of
justification by faith may have ignored or excluded a vital factor in combating
the nationalism and racialism which has so distorted and diminished
Christianity past and present.
Sedikit
berbeda dengan Dunn, Francis Watson (sebagaimana dikutip oleh Michael F. Bird)
menjelaskan pokok pikiran New Perspective
dengan akronim TULIP yakni:[21]
(i) Total
travesty of the Lutheran Interpretation. (ii) Unconditional election of Israel. (iii) Loyalty to the law as expression of Jewish election. (iv) Inclusive salvation of Jews and
Gentiles, (v) Presuppositionless
exegesis where scholars endeavor to emancipate themselves from their prior
theological commitments.
Sedangkan Michael B. Thompson melihat pandangan New
Perspective mempunyai 6 pokok pikiran
yang ditentangnya dari pandangan reformasi,
yakni: [22]
(i) Judaism was a religion of merit, in which one earns salvation.
(ii) Like Luther, Paul was not satisfied with his inherited religion and wanted
to find a solution to the problem of his inability fully to obey God’s demands;
his broken relationship with God needed fixing. (iii) Paul’s essential
religion-his understanding of God’s character and his way of relating to
Him-fundamentally changed when he became a Christian. Justification by grace
through faith is something new that came only with the person of Jesus. It is
the centre of Paul’s theology, the heart of the gospel. (iv) Paul’s focus in
his writing was on how individuals can come to find acceptance with God. (v)
Paul thought that faith and works, understood respectively as believing and
doing, stand in stark contrast as two different principles. (vi) Similarly, law
(OT religion) stands in opposition to grace (NT faith).
Menurut penulis, kritik New Perspective terhadap
pandangan gereja reformasi dapat diringkaskan dalam dua pokok pikiran yakni:
(i) Yudaisme Bait Allah kedua bukanlah agama legalis atau tidak selegalis
seperti yang dipahami oleh Martin Luther dan Rudolf Bultmann. (ii) Dalam surat Roma dan Galatia , Paulus tidak sedang menyerang
ajaran perbuatan baik atau ajaran partisipasi manusia dalam keselamatan atau
ajaran legalis, tetapi Paulus sedang menyerang ajaran yang salah mengenai penerimaan
jemaat Kristen bukan Yahudi oleh jemaat Kristen Yahudi.
Pembenaran dan persetujuan banyak pakar PB dan Yudaisme mengenai kritik
New Perspective terhadap pandangan gereja reformasi, mengindikasikan pengakuan
banyak pakar PB bahwa (i) pandangan New Perspective adalah benar atau setidaknya
banyak benarnya, (ii) pandangan gereja reformasi memang salah atau setidaknya
banyak salahnya.
Selain para pakar yang mendukung dan menentang New Perspective, ada pakar PB yang memilih untuk berada
di tengah, mereka mengadopsi sebagian pandangan New Perspective, namun menolak
bagian lainnya. Kelompok pakar tersebut
misalnya Michael F. Bird,[32]
Frank Thielman,[33]
Michael B. Thompson.[34]
Sekarang, kita akan mendiskusikan kemunculan pandangan New
Perspective. Pandangan ini
dilontarkan oleh Krister Stendahl (1963)[35]
dan E. P. Sanders (1977). Stendahl mengatakan gereja reformasi telah salah
menafsirkan (membaca) tulisan Paulus sebab gereja reformasi membaca tulisan
Paulus dalam “kaca mata” pergumulan Luther, padahal pergumulan kedua orang
tersebut (Paulus dan Luther) adalah berbeda.[36]
Menurut Stendahl, Luther bergumul dengan pertanyaan mengenai bagaimanakah
manusia mendapatkan anugerah (keselamatan dari) Allah, tetapi Paulus sedang bergumul
dengan pertanyaan bagaimanakah implikasi kedatangan Kristus terhadap hubungan
jemaat Kristen Yahudi dan bukan Yahudi.[37]
Stendahl melihat cara yang salah dalam membaca tulisan Paulus membuat
kekristenan menjadi salah dalam memahami ajaran Paulus tentang pembenaran oleh
iman.
Berbeda dengan Stendahl, Sanders terutama menyerang pandangan para
pakar PB mengenai soteriologi Yudaisme Bait Allah kedua, ia mengatakan
pandangan para pakar selama ini salah, jika sebelumnya Yudaisme dipandang
sebagai agama legalis, maka Sanders berkata Yudaisme sama sekali tidak legalis.[38]
Selain Stendahl dan Sanders, ada dua tokoh penting lain yang berperan
dalam menjadikan New Perspective sebagai pandangan yang sangat berpengaruh
dalam penelitian teologi Paulus dan Yudaisme, yakni James D. G. Dunn dan N. T.
Wright. Jika Sanders dinilai penting karena gagasannya mengenai soteriologi Yudaisme
Bait Allah kedua, maka pandangan Dunn
dan Wright dinilai penting karena pandangan mereka yang berbeda dengan
pandangan gereja reformasi mengenai Paulus.[39]
Baik Dunn maupun Wright setuju bahwa lawan utama Paulus bukanlah Yudaisme yang berpegang pada ajaran legalis, namun Yudaisme yang memandang ras Yahudi sebagai ras yang lebih baik dibandingkan
ras bukan Yahudi, (bagi Dunn dan Wright) Paulus sebenarnya sedang menentang
konsep rasialisme dan nasionalisme yang ekstrem dalam Yudaisme Bait Allah kedua.[40]
Dunn dan Wright juga setuju dalam mengartikan pengalaman Paulus di Damsyik
bukan sebagai “pertobatan” (sebagaimana pandangan gereja reformasi), namun
sebagai “panggilan.”[41]
Baik Dunn maupun Wright tidak setuju jika peristiwa tersebut (pertemuan Paulus
dengan Yesus) dipandang sebagai pertobatan Paulus dari seseorang yang menganut
pembenaran karena usaha diri sendiri (self
righteousness) menjadi penganut
keselamatan karena anugerah (salvation by
grace) atau pertobatan seorang Yahudi menjadi Kristen. Dunn dan Wright memandang peristiwa tersebut sebagai panggilan
Allah atas Paulus untuk membuka diri bagi bangsa bukan Yahudi dan untuk
memberitakan Injil Kerajaan Allah yang telah tergenapi dalam Kristus kepada
orang-orang bukan Yahudi.[42]
Selain kedua hal di atas, tentu ada beberapa persamaan lain antara
Dunn dan Wright, namun hal tersebut tidak akan dibahas di sini. Hal yang justru
penting untuk dibahas adalah perbedaan penelitian Dunn dan Wright. Dalam
penelitiannya, Dunn mengkonsentrasikan dirinya untuk mempelajari konsep e[rga novmou “perbuatan-perbuatan
hukum” dalam Galatia dan Roma dan ia
menemukan bahwa istilah tersebut menunjuk pada hukum yang terkait dengan
identitas keyahudian, hukum yang
harus ditaati untuk menjaga ciri khas/karakteristik keyahudian dalam masyarakat
bukan Yahudi dan dalam konteks surat Galatia, e[rga novmou “perbuatan-perbuatan
hukum” yang imaksudkan menunjuk pada sunat dan aturan makan.[43]
Berbeda dengan Dunn, Wright lebih mengkonsentrasikan dirinya untuk meneliti
gagasan monoteisme Yahudi dan konsep sejarah keselamatan dalam teologi Paulus.[44]
Wright memandang gagasan Paulus tentang monoteisme diwarisi dari Yudaisme, hanya
saja, dalam pertemuannya dengan Kristus di Damsyik, Paulus mengalami pembaruan
pemahaman, ia menjadi mengerti bahwa monoteisme yang sejati telah dinyatakan Allah dalam Kristus.[45]
Dalam pemahamannya yang baru tentang Kristus, Paulus memahami bahwa apa yang
dijanjikan Allah sebelumnya mengenai zaman Perjanjian Baru (new covenant) sekarang telah tergenapi dalam kematian dan kebangkitan Yesus.[46]
Dari konteks inilah Paulus menginterpretasikan hukum Taurat, bahwa hukum Taurat berperan
menghantarkan Israel
untuk membuka jalan bagi kedatangan Kristus.[47]
Pandangan Wright dan Dunn mengenai pengalaman Paulus dalam peristiwa
Damsyik ditentang oleh Seyoon Kim.[48]
Kim mengatakan peristiwa Damsyik tidak hanya terkait dengan panggilan Paulus
untuk memberitakan injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, namun peristiwa
tersebut membentuk pemahaman Paulus mengenai Injil yang diberitakannya.[49]
Menurut Kim, konsep pembenaran oleh iman dan bukan oleh karena hukum (Taurat)
adalah inti berita Injil yang disampaikan Paulus dan konsep tersebut berakar
pada peristiwa Damsyik.[50]
Pandangan Dunn mengenai e[rga novmou “perbuatan-perbuatan
hukum” juga ditentang oleh Gathercole yang mengatakan e[rga novmou menunjuk pada perbuatan-perbuatan
yang dilakukan dalam rangka menaati tuntutan keseluruhan hukum Taurat.[51]
Pandangan Wright mengenai pengharapan yang dimiliki Paulus (sebelum
pertobatannya) akan adanya zaman Perjanjian Baru (new covenant), ditentang oleh Seifrid. Seifrid mengatakan tidak ada
bukti yang cukup kuat bahwa (sebelum pertobatannya) Paulus bergumul dengan
“teologi pembuangan” (yang meyakini bahwa Israel
adalah bangsa yang berdosa dan gagal dihadapan Tuhan dan Israel sedang menantikan zaman
pembaruan yang disebut Perjanjian Baru).[52]
Kritik New Perspective membuat
pakar PB kalangan gereja reformasi harus memikirkan ulang pandangannya mengenai
soteriologi Yudaisme Bait Allah kedua dan mengenai hal apakah yang Paulus
sebenarnya sedang lawan dalam surat-suratnya.
Apakah Yudaisme Bait Allah kedua adalah legalis atau Yudaisme Bait Allah
kedua memiliki soteriologi yang sola
gracia, seperti halnya kekristenan. Para pakar PB kalangan gereja reformasi
juga ditantang oleh pandangan New Perspective untuk memikirkan ulang konteks ajaran Paulus mengenai pembenaran
oleh iman (khususnya dalam surat Galatia), apakah Paulus sedang berhadapan
dengan ajaran legalis atau Paulus sedang berhadapan dengan ajaran nasionalisme
dan rasialisme yang ekstrem. Di sinilah penelitian konsep sunat menjadi
penting, sebab tuntutan sunat adalah persoalan utama yang Paulus sedang hadapi
dalam jemaat Galatia .[53] Jika kita membandingkan perdebatan Paulus
dalam Galatia
dan Kisah Para Rasul 15, kita menemukan bahwa sunat memang menjadi isu utama
perdebatan diantara para rasul. Selain itu, konsep sunat yang dipahami oleh
lawan Paulus dalam Galatia
adalah cerminan pandangan Yudaisme Bait Allah kedua mengenai bagaimana
seseorang dapat masuk dalam keselamatan. Konsep sunat kelihatannya menjadi bagian
penting dari diskusi mengenai soteriologi Yudaisme Bait Allah kedua sebab
ritual tersebut terkait dengan cara pandang Yudaisme mengenai cara masuk
seseorang ke dalam keselamatan. Meskipun penting, isu sunat luput dari
penelitian para pakar PB. Demikian juga jika kita membaca surat Roma, maka kita akan menemukan dalam
kitab tersebut terdapat dua tema besar yang Paulus bahas yakni dosa dan
pembenaran. Meskipun demikian, patut disayangkan pembahasan mengenai
soteriologi Yudaisme BAK dilihat dari aspek dosa belum cukup diteliti oleh
pakar-pakar PB dan Yudaisme.
[1] Seyoon Kim, Paul and the New Perspective: Second
Thoughts on the Origin of Paul’s Gospel (GR: Eerdmans, 2002), xiv.
[2] D. A. Carson, “Introduction”, in Justification and Variegated Nomism, Vol 1: The Complexities of Second
Temple Judaism, eds. D. A Carson, Peter T. O’Brien and Mark A. Seifrid (Tu>bingen: Mohr Siebeck/Grand Rapids: Baker Academic, 2001), 1.
[3] Lih. James D. G. Dunn, The
New Perspective on Paul, rev.ed.
(Grand Rapids: Eerdmans, 2008).
[4] Lih. Nicholas Tom Wright, “New Perspective on Paul,” http://www.ntwrightpage.com/
Wright New_ Perspective.htm .
[5] Lih. Heikki Ra>isa>nen, Paul and the Law, WUNT,
29 (Tu>bingen: Mohr Siebeck,1983), 167-168,
187-188.
[6] Lih. Francis Watson, Paul,
Judaism, and the Gentiles: Beyond the New Perspective, rev. ed. (GR: Eerdmans, 2007), 12.
[7] Lih. Morna D. Hooker, ‘Paul and ”Covenantal Nomism”’, From Adam to Christ: Essays on Paul (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 155-164.
[8] Lih. John M. G. Barclay, Obeying
The Truth (Edinburgh: T&T Clark, 1988), 45.
[10] Lih. Lloyd Gaston, Paul and
the Torah (Vancouver: University of British Columbia, 1987), 65, 103-104,
122, 142.
[11] Lih. Walter G. Hansen, Abraham
In Galatians, JSNTS, 20 (Sheffield: Sheffield Academic, 1989), 161-163,
187-188, 199.
[12] Lih. R. B. Hays “Three Dramatic Role: The Law in Romans 3-4” in Paul and the Mosaic Law (GR: Eerdmans,
2001), 151-155.
[13] Lih. keterangan Veronica Koperski, What are They Saying about Paul and the Law (New York: Paulist
Press, 2001), 29-30.
[14] Lih. Frank Matera, Galatians,
Sacra Pagina (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1992), 29-30.
[15] Lih. Daniel Boyarin, A
Radical Jew: Paul and the Politics of Identity (Berkeley: University of
California, 1994), 43-49.
[16] Lih. A. F. Segal, Paul the
Convert: The Apostolate and Apostasy of Saul the Pharisee (NH: Yale
University, 1990), 193.
[17] Lih. Vincent Smiles, The Gospel
and the Law in Galatia: Paul’s Response to Jewish-Christian Separatism and the
Treat of Galatian Apostasy (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press,
1998), 21-25.
[18] Lih. Stephen A. Cummins, Paul
and the Crucified Christ in Antioch (Cambridge: University of Cambridge Press, 2001), 6-11.
[19] M. G. Abegg, “4QMMT C 27,31 and ‘Works Righteousness,’” DSD 6 (1999):139-147.
[20] Dunn, The New Perspective on
Paul, 16.
[21] M. F. Bird, The Saving
Righteousness of God (MK: Peternoster, 2007), 88.
[22] Michael B. Thompson, The New
Perspective on Paul, Grove Biblical Series (Cambridge: Grove Books, 2002), 5-6.
[23] Lih. D. A. Carson, “Summaries and Conclusions” in Justification and Variegated Nomism, Vol 1,
544.
[24] Lih. S. Westerholm, Perspective
Old and New on Paul: The “Lutheran” Paul and His Critics (GR: Eerdmans,
2004), 341-351.
[25] Lih. Mark A. Seifrid, Christ,
our Righteousness: Paul’s Theology on Justification, NSBT 9, ed. D. A.
Carson (Downers Grove: InterVarsity Press, 2000), 14-17.
[26] Lih. Kim, Paul and the New
Perspective, 83.
[27] Lih. Thomas R. Schreiner, The
Law & Its Fulfillment: A Pauline Theology of Law (Grand Rapids: Baker,
1993), 114-121.
[28] Lih. C. Marvin Pate, The
Reverse of the Curse, WUNT, 114 (Tu>bingen: Mohr Siebeck, 2000), 408-415.
[29] Lih. Simon J. Gathercole, Where
is Boasting?: Early Jewish Soteriology and Paul’s Response In Romans 1-5 (Grand
Rapids: Eerdmans, 2002), 263-266.
[30] Lih. Donald A. Hagner, “Paul and Judaism: Jewish Matrix of Early
Christianity; Issues in the Current Debate” IBR
3 (1993): 111-130; Bdk Hagner, “Paul and Judaism: Testing the New
Perspective,” in Peter Stuhlmacher, Revisiting
Paul’s Doctrine of Justification (Downers Grove: InterVarsity Press, 2001),
75-105. Hagner adalah pakar PB dari Fuller Theological Seminary.
[31] Lih. Peter Stuhlmacher, Revisiting
Paul’s Doctrine of Justification, 40-44.
[32] Lih. Bird, The Saving
Righteousness of God, 183.
[33] Lih. Frank Thielman, Paul
& the Law: A Contextual Approach (Downers
Grove: InterVarsity Press, 1994), 238-239, 244.
[34] Lih. Thompson, The New
Perspective on Paul, 22-24. Thompson adalah pakar PB dari St. John’s
College.
[35] Krister Stendahl, “The Apostle Paul and the Introspective
Conscience of the West,” HTR 56
(1963):199-215; repr. In Paul Among Jews
and Gentiles (Philadelphia: Fortress, 1976).
[36] Stendahl, Paul Among Jews and
Gentiles, 79, 87.
[37] Stendahl, Paul Among Jew and
Gentiles, 83-84.
[38] E. P. Sanders, Paul and
Palestinian Judaism ( Philadelphia:
Fortress, 1977), 59, 75.
[39] Bdk. Thompson, The New
Perspective on Paul, 9-12. Para pakar PB melihat penjelasan Sanders tentang
Paulus kurang memuaskan bahkan kurang tepat. Menurut Sanders, Paul and Palestinian Judaism, 543-544:
Paulus menyerang konsep hukum (Taurat) sebab ia berangkat dari solusi kepada
pergumulan (from solution to plight),
Paulus telah meyakini bahwa Kristus adalah jalan keselamatan, dari titik itulah
ia menilai hukum (Taurat) dan
kesimpulannya adalah pembenaran karena/oleh iman dan bukan karena hukum/Taurat. Menurut Sanders, Paulus sebenarnya
sedang menyerang konsep partisipasi manusia dalam keselamatan yang sebenarnya
tidak diyakini oleh Yudaisme. Dunn, New
Perspective on Paul, 7: mengomentari penjelasan Sanders mengenai Paulus
demikian: “in fact, in setting the record straight so far as the Judaism
confronted by Paul was concerned, Sanders only increased the puzzle.”
Thielman, Paul & the Law, 245:
juga melihat kesimpulan Sanders tidak tepat, ia melihat Paulus bukan berangkat
dari solusi kepada pergumulan (from
solution to plight) namun dari pergumulan kepada solusi (from plight to solution). Thielman
menjelaskan pandangannya demikian:
Paul,
along with many Jews of his time, adopted the understanding of the relationship
between grace and obedience which emerges from a careful reading of the Old
Testament. In that relationship, God’s grace and human effort did not cooperate
to produce blessing and life. As in Paul, the people of God were constituted by
God’s gracious acts of redeeming them from their plight and entering into a
covenant with them. The difference between Paul and common Judaism, then, was
not in the way each struck the balance between God’s grace and human
achievement but in the position of each within salvation history.
[40] Dunn, The New Perspective on
Paul, 114-115. N. T. Wright, What
Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity? (Grand
Rapids: Eerdmans, 1997), 120-131.
[41] Dunn, The New Perspective,
364-365. Wright, What Saint Paul, 35-37.
[42] Dunn, The New Perspective, 364-365
. Wright, What Saint Paul, 35-37.
[43] Dunn, The New Perspective,
27-28, 117-118, 139-140, 158-163 dst.
[44] N. T. Wright, The Climax of
the Covenant (Minneapolis: Fortress, 1992), 258-261. What Saint Paul Really Said, 30-31.
[45] Wright, What Saint Paul, 37.
[46] Wright, What Saint Paul, 37,
The Climax of the Covenant, 260.
[47] Wright, The Climax of the
Covenant, 155-156,
[48] Kim, Paul and the New
Perspective, 81-82.
[49] Kim, Paul and the New
Perspective, 81.
[50] Kim, Paul and the New
Perpective, 82.
[51] Gathercole, Where is
Boasting, 92-96.
[52] Seifrid, Christ, our
Righteousness, 25.
[53] Barclay, Obeying the Truth, 45:
menulis demikian: Although many aspects of the Galatian crisis are unclear,
there is at least one fact which is incontrovertible: the agitators in Galatia
were demanding that Paul’s converts should get circumcised.
Ben
Witherington III, Grace in Galatia: A
Commentary on St. Paul’s Letter to the Galatians (Edinburgh: T & T
Clark, 1998), 31: juga melihat sunat sebagai isu utama surat Galatia, ia
menjelaskan target utama argumentasi (retorika) Paulus dalam surat Galatia
adalah untuk membujuk supaya jemaat Galatia tidak mengambil keputusan untuk
disunatkan. Apa yang dikatakan Witherington adalah tepat, sunat memang
persoalan utama surat Galatia, itulah sebabnya strategi dan argumentasi Paulus
difokuskan untuk menolong jemaat Galatia supaya tidak melakukan ritual sunat.