Mengapa Hanya 27 Kitab dan Bagaimana Membaca PB

1.      Mengapakah kita hanya menerima 27 kitab dalam Perjanjian Baru?
Salah satu jawaban yang kita dapat berikan untuk pertanyaan ini adalah sebab kita mengikuti dan menghargai keputusan para bapak gereja. Ada 3 krateria yang digunakan oleh bapa gereja yakni: 1) aturan iman, buku-buku yang memiliki doktrin yang keliru menurut apa yang ditentang oleh tulisan PB lainnya tidak dapat dimasukan dalam kanon 2) aturan ‘apostolicity,’ setiap buku yang diterima dalam kanon haruslah ditulis oleh seorang rasul atau orang-orang yang dekat dengan rasul. 3) aturan penerimaan. Setiap buku yang diterima dalam kanon haruslah diterima dan digunakan oleh semua gereja-gereja yang ada.[1]
Dalam komunitas gereja mula-mula, mereka biasanya membaca PL dan ajaran dari para rasul. Lihat dalam 2 Timotius 3:16. ajaran dari para rasul ini membentuk ‘memoriam’ dalam komunitas umat Tuhan generasi ke-2. Kumpulan memoriam inilah yang kelak diterima sebagai tulisan-tulisan yang berotoritas.
Dalam komunitas gereja mula-mula kitab-kitab yang diterima sebagai tulisan yang bernilai nampaknya bukan hanya 27 kitab saja. Sebagai contoh, kitab The Shapherd of Hermas dan The Wisdom of Solomon termasuk literatur yang dihormati dalam gereja mula-mula.[2] Penolakan atas dokumen tersebut didasarkan atas tidak diterimanya dua dokumen itu oleh seluruh komunitas Kristen. Jumlah 27 kitab PB--seperti yang kita miliki sekarang--diterima sebagai Firman Tuhan pertama kali oleh Athanasius (376 M). Kemudian baik gereja barat maupun gereja timur menerima dan mengikuti usulan Athanasius tersebut.
2.      Bagaimana cara kita membaca PB?
Kita sering kali membaca PB dengan menggunakan our contemporery mind. Kita tinggal di abad 21. Kita memiliki waktu, cara berpikir, bahasa, geografis dan budaya yang berbeda dengan orang-orang yang hidup di abad pertama. Jadi apa yang kita pahami sekarang dapat jadi berbeda dengan apa yang dipahami oleh komunitas kekristenan mula-mula. Jadi bila kita membawa our contemporery mind kepada PB maka kita dapat salah mengerti PB.[3]
Untuk dapat memahami kitab-kitab PB, Kita harus membacanya secara kritis. Membaca teks secara kritis tidaklah berarti kita membaca dengan sebuah kerangka atau keinginan untuk mencari kesalahan dalam Alkitab. Membaca secara kritis berarti kita tidak begitu saja menerima apa yang kita pahami secara selintas, tetapi kita mempertanyakan ulang hal-hal tersebut untuk lebih mengerti apa yang sebenarnya dimaksudkan Alkitab. Untuk dapat membaca secara kritis kita harus memahami konteks dari teks PB yang kita baca. (misalnya saja tradisinya, latar belakangnya dst). Selain itu, untuk membaca secara kritis kita perlu memahami teks itu sendiri (misalnya saja strukturnya, kata-katanya, atau retorikanya)



[1] Carson et.all, An Introduction to the New Testament, 494-495.
[2] Bdk. David A. deSilva, Introducing the Apocrypha: Message, Context, and Significant (Grand Rapids: Baker, 2002), 20-26.
[3] William Klein et.all, Introduction to Biblikal Interpretation (Dallas: Word, 1993), 12-16.