Buku yang ditulis oleh E. P. Sanders yakni Paul and Palestinian Judaism terdiri dari dua bagian yakni
pembahasan mengenai soteriologi Yudaisme BAK dan soteriologi Paulus, meskipun
demikian Sanders nampaknya lebih memusatkan
bahasannya pada Yudaisme BAK dibandingkan dengan teologi Paulus-nya. Hal ini terlihat dari komposisi buku
yang dituliskan, Sanders menghabiskan hampir 400 halaman untuk membahas
soteriologi Yudaisme BAK dan 125 halaman untuk membahas teologi Paulus. Tujuan
Sanders menulis buku ini ada dua yakni 1) membuktikan bahwa Yudaisme BAK adalah
penganut covenantal nomism, dan 2)
membuktikan bahwa walaupun soteriologi Paulus berbeda dengan Yudaisme BAK, namun dalam surat-suratnya, Paulus menyerang mereka bukan karena
Yudaisme BAK menganut covenantal nomism namun
karena mereka tidak percaya kepada Yesus Kristus atau karena mereka tidak
Kristen.[1]
Melalui buku ini Sanders hendak membuktikan bahwa soteriologi
Yudaisme BAK bukanlah legalis sebagaimana
yang dituduhkan oleh kebanyakan pakar PB (misalnya saja F. Weber, W. Boussset , P. Billerbeck, R. Bultmann). Sanders memulai
argumentasinya dengan menyatakan bahwa semua agama memiliki patterns of religion, dan patterns
tersebut adalah soteriologi-nya. Sanders menyatakan bahwa patterns of religion/soteriologi
dari Yudaisme BAK adalah covenantal
nomism. Gagasan covenantal nomism ini
secara sederhana menyatakan bahwa keselamatan diperoleh seseorang karena
keberadaan orang tersebut dalam perjanjian dengan Allah, namun sebagai catatan:
a) perjanjian dengan Allah ini adalah murni karya dan anugerah Allah b)
perjanjian dengan Allah ini menuntut adanya ketaatan yang mutlak pada
kehendak-Nya. Jadi, walaupun Judaism sangat menekankan ketaatan pada nomos ‘hukum’ namun hal ini dipandang
dalam kerangka konsekuensi seseorang yang
berada dalam perjanjian dengan
Tuhan. Sanders berkata:[2]
covenantal nomism is the view that one’s place in God’s plan is
established on the basis of the covenant and that the covenant requires as the
proper response of man his obedience to its commandments, while providing means
of atonement for transgression.
Sanders memandang Yudaisme BAK adalah Yudaisme era tahun 200 SM -
200 M[3]
dan menurutnya, Yudaisme di era ini memiliki pola soteriologi yang konsisten, yakni “covenantal nomism.”[4]
Untuk membuktikan konsistensi pola tersebut, Sanders meneliti tiga kelompok
utama literatur Yudaisme BAK yakni: a) Literatur Rabinik (Tannaitic), b) Literatur Qumran, c) Apokrifa dan
Pseudepigrafa.
Bagaimanakah Sanders membuktikan argumentasinya? Maka Sanders
menggunakan pola ‘tarik mundur.’ Ia memulai penelitiannya dengan literatur Tannaitic (Rabbinic) yang berusia sekitar 200 M dan setelahnya, kemudian dia
mundur kepada literatur yang ditemukan di gua-gua seputar Laut Mati yang
dikenal dengan naskah Qumran, dan yang terakhir, ia kemudian meneliti 5 tulisan
dari literatur Apokrypha dan Pseudepigrapha [yang secara usia teks,
ada kitab-kitab tertentu yang sebenarnya lebih tua dibandingkan dengan
literatur Rabbinic].
Meskipun Sanders meneliti tiga kelompok kitab yang berbeda, namun
konsentrasi pembahasan Sanders sebenarnya terletak pada literatur Rabinik (tannaitic). Lebih dari
separuh isi tulisannya mengenai soteriologi Yudaisme BAK difokuskan pada penelaahan dalam literature Rabinik, padahal literatur tersebut jauh lebih muda usianya
dibandingkan dengan literatur Qumran , Apokrifa
dan Pseudepigrafa.
Konsentrasi penelitian Sanders yang terfokus pada literatur Rabinik
tentu saja menimbulkan masalah yang serius. Seperti yang dijelaskan oleh
Elliott, literatur Rabinik dituliskan setelah era PB (Misnah secara sistematik
disusun dan dicatat pada awal abad ke-3 M, sedangkan Talmud mencapai bentuk
akhirnya sekitar abad ke-9 M), itu berarti, jika dibandingkan dengan literatur Qumran
dan Pseudepigrafa (yang berasal dari abad ke-3 SM sampai 1 M), literatur
Rabinik sebenarnya menempati posisi sebagai sumber kedua.[5]
Menurut Elliott: [6]
The Rabbinic literature is not the timeless and universal summary of
Jewish belief that it was once taken to be, and it does not adequately reflect
the time periode in which New Testament arose.
Penulis sependapat dengan Elliott, sumber utama diskusi soteriologi
Yudaisme BAK adalah literatur Apokrifa, Pseudepigrafa dan Qumran .
Jadi, dilihat dari materi yang Sanders gunakan dalam penelitiannya, penelitian
Sanders bersifat selektif, ia menggunakan materi-materi yang cenderung
mendukung tesisnya.
Selain itu, metodologi yang Sanders gunakan yakni (yang penulis
sebut sebagai) pembuktiaan ‘tarik mundur,’ menimbulkan persoalan serius. Walaupun
(seandainya) Sanders berhasil membuktikan bahwa di era tahun 200 M dan
setelahnya, gagasan soteriologi
Yudaisme BAK adalah covenantal nomism,
sebagaimana yang nampak dalam literatur Tannaitic,
namun realita ini tidak otomatis menyatakan bahwa 100-300 tahun sebelumnya (era
100 M-200 SM) Yudaisme BAK mempunyai pattern
of religion / soteriologi yang sama dengan Yudaisme era tahun 200M (era
Rabinik). Kecuali Sanders berhasil membuktikan bahwa di kitab-kitab yang
usianya 200 SM dan setelahnya gagasan covenantal
nomism secara konsisten dan menyeluruh nampak dalam semua/kebanyakan literatur
Yudaisme BAK maka Sanders -- menurut penulis -- secara absah dan valid, baru
dapat menyatakan ‘covenantal nomism’ adalah
patterns of religion dari Yudaisme BAK.
Menurut penulis, walaupun Sanders berhasil menemukan adanya beberapa
komponan gagasan covenantal nomism yang muncul di beberapa literatur Yudaisme
BAK (Apocrypha dan Pseudephygrapha), namun hal ini sama sekali tidak
membuktikan bahwa di era tahun 200-an SM dan setelahnya gagasan soteriologi
mereka adalah sama dengan covenantal
nomism yang muncul 400 tahun kemudian.[7] Realita bahwa tidak semua komponan covenantal nomism ada dalam naskah Qumran dan Apokrypha-Pseudepigrapha
(sebagaimana yang diakui oleh Sanders sendiri)[8]
menunjukkan bahwa ada perbedaan antara Yudaisme BAK dan Yudaisme era Rabinik.
Selain itu (menurut penulis) Sanders tidak boleh hanya meneliti 5 kitab saja
dari Apokrypha dan Pseudepigrapha sebab ada kitab-kitab
lain yang memuat gagasan soteriologi yang tidak bersifat covenantal nomism, ataupun tidak mempunyai semua komponen gagasan covenantal nomism misalnya saja kitab
Yudith yang memandang keselamatan walaupun adalah karya Allah, namun untuk
mendapatkannya tetap melibatkan inisiatif manusia.[9]
Demikian juga dengan kitab tambahan Ester yang memandang kesalehan sebagai
syarat bagi pemulihan dari Allah.[10]
Demikian juga dengan kitab Barukh yang memandang ketaatan pada hukum sebagai
jalan pembenaran bagi manusia.[11] Dengan demikian, dalam Apokrypha dan Pseudepigrapha bukan saja
ditemukan komponen ajaran yang ‘hilang’ dari covenantal nomism versi literatur Rabbinic, misalnya saja bahwa dasar keselamatan bukan sekedar
dilihat dari aspek pilihan, namun ketaatan kepada hukum juga dipandang sebagai
kunci untuk keselamatan di masa yang akan datang, namun ternyata dalam
literatur tersebut ditemukan juga komponen-komponen ajaran yang berlawanan,
yakni komponen ajaran bahwa untuk masuk ke dalam ikatan perjanjian sekali pun,
ada peran serta manusia atau merupakan pilihan individual dari manusia, hal ini
terlihat dalam soteriologi Qumran.[12]
[kembali pada bahasan Sanders) Dalam membuktikan bahwa gagasan covenantal nomism, terdapat dalam
literatur Tannaitic maka Sanders
membahasnya secara tematik. Hal pertama yang
Sanders bahas adalah kaitan antara Allah dan Israel . Dalam literatur Tannaitic,
hubungan Allah dan Israel
diikat dalam sebuah perjanjian. Allah menetapkan dan memilih Israel sebagai umat pilihannya dan
(menurut Sanders) dasar dari ketetapan Allah ini adalah anugerahnya semata dan
ketaatan pada perintah Tuhan merupakan respon atas anugerah tersebut. Salah
satu teks yang Sanders ajukan sebagai bukti dari tesisnya adalah Mekilta
Bahodesh 5 yang mengatakan:
I Am the Lord Thy God (Ex 20:2). Why were the Ten Commandments not
said at the beginning of the Torah? They give a parable. To What may this be
compared? To the following: A king who entered a province said to the people:
May I be your king? But the people said to him: Have you done anything good for
us that you should rule over us? What did he do then? He built the city wall
for them, he brought in the water supply for them, and he fought their battles.
Then when he said to them: May I be your king? They said to him: Yes, yes.
Likewise, God, He brought the Israelites out of Egypt, divided the sea for
them, sent down the manna for them, brought up the well for them, brought the
quails for them. He fought for the the battle with Amalek. Then He said to
them: I am to be your king. And they said to Him: Yes, yes.
Dalam bagian tersebut dibicarakan perumpamaan mengenai hubungan
perjanjian antara Allah dan Israel, dalam bagian tersebut ditegaskan bahwa
tuntutan hukum (law) diberikan Allah
dalam konteks perjanjian, tuntutan tersebut diberikan kepada Israel setelah
Israel menerima anugerah Allah (dijadikan umat perjanjian). Ketaatan kepada
hukum Tuhan (the law of God) tidak
dipahami dalam konteks masuk ke dalam (getting
in) perjanjian (covenant), namun
untuk tinggal di dalam (staying in)
perjanjian (covenant). Jadi, ketaatan
seseorang pada perintah Tuhan bukanlah dalam rangka membuat seseorang masuk
dalam perjanjian namun sebagai konsekuensi dari keberadaan seseorang yang ada
dalam perjanjian dengan Tuhan.
Hal kedua yang jadi pokok
bahasan Sanders adalah mengenai hukuman dan penghargaan. Dalam Tannaitic memang ditemukan gagasan
‘tabur tuai’[13]
yakni ketaatan akan membawa pada reward ‘hadiah/penghargaan’
sedangkan pelanggaran akan mengakibatkan pada punishment ‘penghukuman.’ Sanders melihat dalam Tannaitic reward dan punishment akan
terjadi di masa sekarang dan yang akan datang. Walaupun reward dan punishment menyangkut
masa yang akan datang namun hal ini tidaklah berarti keselamatan (yang akan
datang) adalah karena ketaatan manusia, sebab keselamatan terletak pada
perjanjian dengan Allah.[14]
Sanders secara khusus membahas mengenai aspek penghukuman. Sanders
melihat para Rabbi memandang penghukuman (termasuk dalamnya reward) adalah dalam rangka penegakan
keadilan Allah dan sebagai sarana pertobatan (aspek ini hanya untuk pembicaraan
mengenai penghukuman). Dasar pemikirannya adalah a) Sanders menemukan bahwa
dalam pemikiran para Rabbi, untuk seseorang diselesaikan urusan dosanya maka
harus ada penebusan[15]
b) Penebusan sendiri terkait dengan pertobatan, penebusan menjadi efektif bila
disertai pertobatan.[16]
c) namun pertobatan dari dosa muncul dari penghukuman Allah.[17]
Jadi, penghukuman Allah diberikan pada umat-Nya dalam rangka menyadarkan mereka
akan keberdosaannya sehingga mereka bertobat dan penebusan menjadi sarana untuk
melaksanakannya. Sanders berkata Thus,
the righteous are punished on earth for their sins in order to enjoy
uninterrupted bless hereafter.
Lalu bagaimana dengan penghukuman eskatologis, penghukuman yang akan
terjadi dimasa yang akan datang? Menurut Sanders, satu-satunya dosa yang
membuat seseorang akhirnya tidak terselamatkan (baca: mendapatkan penghukuman
eskatologis) adalah dosa meninggalkan perjanjian dengan Tuhan. Orang yang
seperti ini tidak akan terselamatkan karena tidak ada penebusan untuk dosa yang
satu ini. Sanders berkata:[18]
The individuals who were excluded from the world to come were…those
who effectively deny the claims of God. Those excluded from salvation, in other
words, are those who exclude themselves from the covenant.
Menurut penulis, salah satu ganjalan utama dari covenantal nomism ada pada point
ini. Sanders mengakui bahwa ada dosa atau perbuatan salah tertentu yang membuat
seseorang keluar dari perjanjian (baca: keselamatan). Hal tersebut adalah
pilihan orang tersebut untuk keluar dari perjanjian (baca: keselamatan). Ini
berarti manusia bisa keluar dari ketetapan keselamatan Allah dan hal ini juga
berarti pada akhirnya yang menentukan seseorang selamat ataukah tidak adalah
pilihan dari manusia itu sendiri.
Bagian kedua dari argumentasi Sanders terdapat pada naskah Qumran . Sanders memandang bahwa gagasan covenantal nomism dalam literatur Qumran dinyatakan secara ‘berlimpah ruah.’ Untuk
membuktikan pemikirannya Sanders mencoba membahas 4 hal yakni 1) perjanjian 2)
pemilihan 3) identitas umat pilihan dan orang yang dipandang fasik 4) arti
menjadi Israel.
Hal pertama yang dibicarakan Sanders adalah covenant. Sanders menemukan bahwa dalam naskah Qumran
disebutkan dua macam perjanjian yang sebenarnya mengacu pada hal yang sama
yakni new covenant dan old covenant (the Mosaic covenant). New
covenant yang dibicarakan adalah hal yang tersembunyi dalam old covenant namun hanya bisa dilihat
oleh true Israel .[19]
Sanders memandang dalam komunitas Qumran ,
keberadaan seseorang yang akan diselamatkan ataupun tidak, terkait dengan
apakah orang tersebut berada dalam new
covenant ataukah tidak. Seseorang yang ada diluar perjanjian tidak akan
diselamatkan.
Hal kedua yang menjadi
fokus penelaahan Sanders adalah election dan
predestination. Pertanyaan yang hendak
dijawab oleh Sanders adalah bagaimana seseorang bisa masuk dalam perjanjian dengan Allah? maka jawabannya
ada dua (a) orang masuk dalam perjanjian karena election ‘pilihan’ dan penetapan Allah sendiri (b) mereka masuk
perjanjian bila dengan rela hati mau bertobat dari dosa-dosanya dan kemudian
bergabung dengan komunitas true Israel
dan dengan penuh komitment setia pada komunitas dan aturannya.
Hal ketiga yang menjadi
penelaahan Sanders adalah persoalan ‘perintah Tuhan.’ Komunitas Qumran
memandang perintah yang harus ditaati oleh the
true Israel
adalah perintah yang disebutnya sebagai true
commandment ‘perintah sejati.’ Perintah
yang sejati hanya dapat dipahami jika seseorang mempunyai hikmat dari Allah.
Pengetahuan dan pemahaman seseorang akan perintah yang sejati menuntut orang tersebut untuk setia
atau taat sepenuhnya. Namun Sanders melihat, ketaatan yang sepenuhnya ini sama
sekali bukan dalam rangka supaya mereka diselamatkan namun supaya mereka tetap
berada dalam perjanjian.
Bagian terakhir yang Sanders coba telaah adalah gagasan penebusan. Ada empat hal yang ditelaahnya yakni (a) ia mengatakan
bahwa gagasan penebusan merupakan cara Allah dalam menyelesaikan
pelanggaran-pelanggaran tertentu terdapat juga dalam komunitas Qumran . Sanders memang mengakui bahwa gagasan penebusan
yang terkait dengan ‘persembahan’ tidaklah dimiliki dan dikerjakan oleh
komunitas Qumran , hal ini disebabkan mereka
menolak perilaku dari pemimpin dan para imam di bait Allah yang mengerjakan
sistem korban penebusan secara korup. Namun gagasan penebusan korban sendiri
bukanlah tidak ada, gagasan tersebut digantikan dengan perilaku kehidupan.[20]
(b) Gagasan kehidupan sebagai penebusan tidaklah pernah dikaitkan dengan
keberadaan orang-orang yang berada diluar perjanjian (diluar komunitas).[21]
Jadi gagasan perilaku kehidupan selaku
penebusan, Sanders simpulkan bukanlah dalam rangka menyelesaikan problem dosa
orang-orang yang diluar perjanjian namun bagi orang-orang yang telah ada dalam
komunitas.[22]
Ini berarti penebusan bukanlah sarana
keselamatan namun dalam rangka supaya orang-orang yang dalam keselamatan tetap
ada dalam perjanjian dengan Allah. (c) Menurut Sanders penghukuman yang
dipandang dalam rangka membawa umat pada penebusan juga ada dalam komunitas Qumran . IQS 8:3f menyatakan bawa the suffering of the select fifteen join their ‘practice of justice’ to
atone for sin.[23]
(d) Bagaimana dengan pertobatan? Sanders berkata walaupun tidak secara
langsung dikatakan bahwa pertobatan adalah bagian dari penebusan namun istilah pertobatan identik dengan karakteristik
dari komunitas ini. Dalam IQH 14.24 dinyatakan bahwa komunitas Qumran adalah orang-orang yang bertobat. Menurut Sanders
istilah ini menyatakan bahwa pertobatan adalah bagian dari hidup keseharian
dari komunitas. Sanders berkata it is
obvious that their continuing life in the community as well as at the time of
their entrance is to be characterized by repetence.
Respon penulis terhadap pembahasan Sanders mengenai soteriologi
komunitas Qumran adalah ia hanya benar
separuh. Hal-hal yang benar dari gagasan Sanders adalah a) gagasan pilihan,
ketetapan dan karya Allah dalam diri umat Tuhan yang membuat mereka memasuki
perjanjian dengan Allah memang benar menunjukkan bahwa satu sisi soterologi
mereka bukan bergantung pada pihak manusia, keselamatan dipandang datang dari
Allah. Namun gagasan bahwa (i) ada dosa-dosa yang tidak ada solusi penebusannya
(ii) bagaimana seseorang bisa keluar dari ‘perjanjian dengan Allah (iii)
ketidaktaatan bisa membuat seseorang dihukum menyatakan bahwa aspek sisi manusia
dalam keselamatan tetap menjadi prasyarat
apakah seseorang akan tetap diselamatkan ataukah tidak. Gagasan soteriologi
yang muncul dalam komunitas Qumran adalah
gagasan yang sifatnya ‘paradoks.’[24]
Bagian ketiga dari penelaahan Sanders adalah literatur Apokrypha dan Pseudephigrapha. Ada 5 kitab yang dibahas
Sanders yakni 1) Ben Sirach 2) 1 Enoch 3) Jubilees 4) Mazmur Salomo 5) IV Ezra.
Kitab Ben Sirakh ditulis sekitar abad ke-2 SM oleh seorang Yahudi yang tinggal
di Palestina.[25] 1
Henokh terdiri dari 5 bagian kitab yang ditulis dari zaman yang berbeda. Kelima
bagian tersebut adalah The Watcher, The
Giant, Perumpamaan Henokh, Surat Henokh dan The Book of Dreams.[26]
Kitab Jubilee ditulis pada pertengahan abad ke-2 SM dan berasal dari
kalangan Yahudi Palestina.[27]
Mazmur Salomo ditulis sekitar tahun 60-an SM dan berasal dari kalangan Yahudi
di kota
Palestina.[28] Sedangkan
kitab IV Ezra (kemungkinan) ditulis oleh kalangan Yahudi Palestina pada abad
pertama masehi.[29]
Dalam kitab Ben Sirach Sanders memandang bahwa a) kitab ini
ditujukan untuk individual b) dalam pikiran penulisnya selalu ada gagasan Israel ,
Taurat dan Perjanjian. Bukti yang diajukan Sanders terkait dengan gagasan bahwa
hubungan Allah dan Israel diikat oleh hubungan perjanjian ada dalam (i) ps.
17:12 ‘He established them with an
eternal covenanat’, (ii) dalam ps. 17:17 ‘He appointed a ruller for every nations, but Israel is the Lord’s own
portion’ (iii) dalam ps.10:10 (yang
menurut Sanders) menekankan bahwa perbedaan antara bangsa yang layak dihadapan
Tuhan ataukah tidak dilihat dari apakah mereka ‘melanggar’ perintah Tuhan
ataukah tidak dan apakah mereka setia ataukah tidak. Lalu gagasan pemilihan
menurut Sanders nyata dalam ps. 24:8 yang berbicara mengenai pemberian hikmat
bagi Israel
yang akan menghasilkan ‘buah yang manis’ yang bila dimakan dan diminum akan
menghasilkan ‘rasa haus dan lapar yang lebih lanjut.’ Jadi pemberiaan hikmat
adalah cara yang Allah gunakan supaya Israel bisa dibawa masuk dalam
perjanjian dan tetap tinggal dalamnya. Jadi, pemberiaan ‘hikmat’ pada Israel
oleh Sanders dinyatakan sebagai bukti kuat doktrin pilihan dari kitab Ben
Sirach.
Respon saya terhadap tulisan Sanders adalah a) dalam kitab ini
Sanders menyatakan bahwa gagasan keselamatan dalamnya adalah untuk individual,
namun menurut saya, ayat-ayat yang dibicarakannya adalah dalam konteks nasional
(kebangsaan) (b) dalam ps. 10:10 Sanders hanya melihat bahwa ayat ini bicara
mengenai hubungan Allah dan Israel yang didasarkan atas perjanjian, padahal
ayat ini, juga menunjuk pada gagasan bahwa yang menentukan satu bangsa menjadi
layak ataukah tidak adalah ketaatannya pada hukum atau perintah Tuhan. Bukankah gagasan yang demikian
menunjukkan bahwa soteriologi Ben Sirach akhirnya ditentukan perbuatan manusia
(walaupun itu dilakukan dalam kaitannya dengan perjanjian).
Literatur kedua yang Sanders bahas adalah 1 Henokh. Kitab yang
diteliti Sanders adalah a) The Book Of
Noah (ps. 6-11; 54:7-55:2; 60; 65-69.25; 106-107) dalam bagian ini Sanders
menemukan bahwa orang benar akan luput dari penghukuman sedangkan orang berdosa
akan dihancurkan. Yang dimaksudkan dengan orang benar disini adalah yang taat
pada kehendak Allah sedangkan yang dimaksudkan dengan orang berdosa adalah
orang yang tidak taat. Yang dimaksudkan dengan ketaatan disini adalah
menghindari dosa, kefasikan dan kecemaran.
b) 1 Henokh 12-36, dalam bagian ini Sanders terutama mengangkat
gagasan bahwa orang saleh dalam kitab ini diidentikan dengan orang benar. Dua
istilah ini sendiri disejajarkan sebagai orang pilihan yang karena anugerah
Allah akan diselamatkan (luput dari penghukuman)
c) 1 Henokh 83-90 dalam bagian kitab ini dibicarakan mengenai adanya
penghukuman bagi domba-domba Israel
yang buta, yang telah menyimpang. Jadi dalam bagian kitab ini terdapat gagasan
bahwa tidak semua bangsa Israel
akan terselamatkan, yang diselamatkan adalah yang disebut remnant
d) 1 Henokh 91-104 dalam bagian ini dibicarakan mengenai orang-orang
yang ‘tidak benar.’ Mereka adalah (i) orang-orang yang bukan saja oleh karena
harta maka mereka jadi tidak jujur, namun mereka juga adalah orang-orang yang
karena uang menjerumuskan orang-orang yang benar. (ii) Mereka juga dikatakan
telah melanggar the eternal Law dan
mereka tidak akan mendapatkan penebusan setelah mati (iii) mereka adalah
orang-orang yang tidak takut pada Tuhan. Yang menarik perhatian Sanders adalah
dalam bagian kitab ini terdapat gagasan bahwa apakah seseorang menjadi orang
benar ataukah tidak, itu adalah karena pilihannya sendiri. Gagasan ini muncul
sebab dalam kumpulan kitab ini terdapat gagasan bahwa sama seperti keberdosaan
itu bersifat sukarela demikian juga dengan pilihan untuk hidup dalam jalan
Tuhan. Dalam merespon kesimpulan ini, Sanders menyatakan bahwa dalam pikiran
penulis 1 Henokh yang dia hendak tekankan adalah (a) orang berdosa tidaklah
pernah akan bertobat (b) pilihan yang dipilih oleh baik orang benar ataupun
orang fasik hanyalah sebuah cara untuk menunjukkan apakah seseorang adalah
orang pilihan/orang yang dibenarkan ataukah tidak.
e) 1 Henokh 1-5; 81; 108; 93:1-10; 91:12-17; dalam bagian ini
Sanders menemukan bahwa (i) gagasan pilihan dan pembenaran dipandang identik
(ii) lawan dari umat pilihan atau umat yang dibenarkan adalah orang berdosa,
yang dimaksudkan dengan istilah ini adalah orang-orang yang lahir dalam kegelapan
yang hidupnya mengarah pada kegelapan. Orang yang dimaksudkan adalah
orang-orang yang murtad dan menjadi pengkhianat bagi bangsanya sendiri (iii)
nasib dari orang benar adalah mereka akan diampuni oleh karena anugerah Tuhan
dan mendapatkan hikmat yang akan menjadikan mereka tidak akan pernah berdosa
lagi sedangkan orang berdosa mereka tidak akan mendapatkan anugerah Allah.
Dalam bagian ketiga ini Sanders menyimpulkan bahwa yang menjadikan orang-orang
ini disebut berdosa bukanlah karena pelanggaran mereka pada hukum, sebab orang
benarpun sebenarnya juga berdosa, namun karena kekerasan hati mereka untuk
tidak mau bertobat malah murtad dan jadi pengkhianat.
Respon saya terhadap tulisan Sanders mengenai 1 Henokh adalah
Sanders sebenarnya mengakui bahwa tidak semua Israel adalah umat pilihan Allah,
ada Israel tertentu yang akan dihukum Tuhan yakni mereka yang murtad dan
menjadi pengkhianat. Ini berarti walaupun keselamatan Israel adalah karena (pemilihan
yang membawa pada) perjanjian (sebagaimana yang Sanders katakan), namun
orang-orang tertentu (walaupun telah ada dalam perjanjian), mereka bisa
terbuang dari ikatan perjanjian. Jika akhirnya ada orang-orang yang telah getting in dalam keselamatan, namun oleh
karena perbuatan mereka akhirnya keluar dari
keselamatan, maka keselamatan pada akhirnya bukanlah anugerah (murni karya
Allah) namun karena pilihan manusia sendiri.
Jika ternyata perjanjian antara Allah dan Israel
itu hanyalah tersangkut dengan kalangan yang disebut sebagai true Israel
maka ini berarti perjanjian antara Allah dan nenek moyang Israel yakni Abraham bisa jadi
persoalan. Ini berarti perjanjian hanyalah berlaku bagi keturunan Abraham yang
‘taat pada hukum Tuhan,’ yang tidak murtad, yang tidak berkhianat. Ini berarti
perjanjian dengan Allah bersifat conditional.
Perjanjian dengan Israel
bergantung pada apakah orang-orang Israel itu taat ataukah tidak. Jika
demikian maka keselamatan bukanlah anugerah lagi namun bergantung pada manusia.
Kitab ketiga yang dibahas Sanders adalah Jubilee. Dalam kitab ini Sanders menemukan bahwa (a) gagasan umat
pilihan menunjuk pada keseluruhan Israel[30]
(b) ketaatan pada perintah Tuhan dipandang sebagai konsekuensi umat setelah
dipilih Tuhan (berada dalam perjanjian)[31]
(c) dalam Jubilee terdapat gagasan reward
dan punishment, walaupun gagasan
penghukuman berkaitan dengan aspek kehidupan dunia ini dan dunia yang akan
datang, namun sifatnya adalah individual. Sanders berkata the punishment of the individual for his transgression will avert the
punishment which would otherwise fall on the entire people (d) Sanders
melihat dalam Jubilee, keselamatan itu dipandang karena keberadaan seseorang
dalam perjanjian dan ketaatan dalamnya,[32]
sementara itu keberadaan seseorang dalam perjanjian sendiri dipandang adalah
karena anugerah Allah sendiri (e) meskipun kitab Jubilee memandang Israel sebagai umat pilihan namun disisi yang
lain akan ada orang-orang yang gagal dalam ikatan perjanjian ini, orang-orang
yang gagal ini adalah mereka yang tidak taat pada Tuhan dan kehendaknya.
Satu sisi Sanders mengakui bahwa Jubilee
menekankan aspek ketaatan yang kuat. Dalam kitab ini ditegaskan bahwa
keberdosaan akan membawa pada penghukuman sedangkan ketaatan pada Tuhan
(kesalehan) akan membawa pada kemurahan dan anugerah Allah. Meskipun demikian,
Sanders memandang penulis Jubilee selalu menekankan bahwa Allah itu penuh
anugerah dan belas kasihan. Salah satu bukti dari kemurahan Allah adalah
gagasan pertobatan sangat ditekankan. Dalam Jubilee
satu-satunya dosa yang tidak bisa diampuni adalah ‘meninggalkan perjanjian.’
Respon saya terhadap pembahasan Sanders terhadap kitab Jubilee adalah sbb: Sanders mengakui
bahwa keselamatan sebagai bangsa tidak sama dengan individual. Secara bangsa, Israel
akan diselamatkan karena pilihan Allah, namun secara individual seseorang
menjadi tidak selamat jika ia tidak taat pada Tuhan, ini berarti keselamatan
secara individual terkait dengan apakah seseorang taat ataukah tidak pada
perintah (baca:hukum-hukum) Tuhan.
Kitab keempat adalah Mazmur Salomo. Dalam hal menjadi umat perjanjian,
Sanders menemukan, dalam Mazmur Salomo, keselamatan dinyatakan berdasarkan
pilihan Allah yang dinyatakan melalui ikatan perjanjian. Sanders mendasarkan
argumentasinya pada Mazmur ps. 9:16-19 yang mengatakan bahwa Allah telah
memilih Israel
dan menetapkan perjanjian atas mereka dan anugerah Allah akan terus menaungi
mereka. Dari ayat ini gagasan keselamatan yang didasarkan atas anugerah Allah
muncul.
Bagaimana dengan aspek ketaatan pada perintah Tuhan? Mazmur Salomo
menjawab, ketaatan pada perintah Tuhan adalah penting sekali. Ketaatan pada
perintah Tuhan jika diabaikan akan membawa pada penghukuman, namun penghukuman
disini bukanlah dalam rangka membuang dari keselamatan namun dalam rangka
membawa mereka pada pertobatan. Jadi gagasan penghukuman tidaklah terkait
dengan keselamatan.
Sedangkan gagasan penebusan, dalam Mazmur Salomo dilakukan terkait
dengan solusi atas dosa-dosa yang tidak disadari yang dilakukan oleh orang
benar.[33]
Dalam Mazmur Salomo, dosa-dosa perbuatan yang dilakukan secara sadar harus
diselesaikan dengan pertobatan sedangkan dosa-dosa yang dilakukan tanpa sadar
diselesaikan dengan korban penebusan.
Bila melihat gagasan dari Mazmur Salomo, sepertinya memang kitab ini
secara sempurna menyatakan keselamatan adalah murni karya Allah, namun ada
beberapa aspek yang tidak dimunculkan Sanders yakni: gagasan mengenai perbedaan
antara orang benar dan berdosa. Kategori yang digunakan oleh penulis Mazmur
Salomo adalah pada ketaatan mereka terhadap perintah-perintah Tuhan.[34] Terus yang kedua, kitab syair haruslah dipahami secara khusus, konteks serta
pergumulan penulisnya menentukan arti dari kalimat-kalimat yang muncul dalam
tulisan tersebut. Walupun secara eksplisit dalam Mazmur Salomo digambarkan
bahwa anugerah adalah dasar dari keselamatan yang dibicarakannya namun apa yang
dinyatakan tersebut tidaklah otomatis menjadi gagasan soteriologi komunitasnya.[35]
Kitab terakhir yang Sanders bahas adalah IV Ezra. Kitab ini oleh
Sanders disebut sebagai satu-satunya pengecualiaan dimana gagasan keselamatan
yang datang dari Allah melalui pilihan dan penetapannya, tidak mucul. Gagasan
perjanjian sama sekali tidak dipandang memberikan jaminan keselamatan,
kehidupan orang benar secara sempurnalah yang membuat seseorang luput dari
penghukuman. Dalam kitab ini, keberadaan seseorang yang tidak bisa luput dari
kondisi keberdosaan yang disebabkan karena kelemahan-kelemahan alamiah manusia
dipandang akan membawa seseorang pada penghukuman akhir. Kitab IV Ezra ini walaupun
sangat menekankan aspek legalistic namun
Sanders memandang kitab ini sebagai kitab yang masih diperdebatkan dan
interpretasi seseorang atas kitab ini sangat ditentukan oleh pilihan sang
penafsir untuk menetapkan sudut pandang teologis manakah yang menjadi pokok
soteriologi kitab ini, apakah yang dinyatakan oleh malaikat ataukah yang
dinyatakan oleh Ezra.
Sebelum membahas respon akhir, ada sedikit komentar yang saya ingin
ajukan. Menurut saya, bila kita ingin membahas gagasan soteriologi Judaism era second temple apakah legalistic
ataukah tidak, maka materi yang harus ditelaah adalah kitab-kitab yang memang
muncul dari kalangan Yahudi Palestina dan berasal dari era pra-kekristenan.
Mengapa demikian? sebab jika kitab-kitab yang diacu berasal dari era dimana
kekristenan telah hadir, dan ternyata dalam kitab tersebut ditemukan bahwa
aspek anugerah Allah dan keselamatan dipandang tidak bisa hilang, maka
kesimpulan yang bisa diambil salah satunya adalah hal tersebut muncul karena adanya pengaruh kekristenan terhadap kitab
tersebut. Namun jika materi yang digunakan adalah kitab-kitab yang berasal
dari era pra-kekristenan maka walaupun gagasan teologis yang muncul disana
mirip dengan kekristenan maka hal tersebut tidaklah membuktikan bahwa gagasan
tersebut dipengaruhi kekristenan sebab kekristenan memang belum ada.
Jadi walaupun dalam kitab Rabbinic
dan 1 Henokh 1-5; 81; 108; 93:1-10; 91:12-17 terdapat gagasan soteriologi
yang memandang keselamatan adalah oleh karena anugerah dan ketetapan Allah,
namun oleh karena tulisan tersebut berasal dari era dimana kekristenan telah
ada, maka gagasan tersebut bisa jadi muncul karena pengaruh kekristenan jadi
gagasan tersebut tidak bisa dikatakan otomatis merupakan mewakili Judaism sebelum pra-kekristenan ada.
Respon Akhir Terhadap
Pandangan E. P. Sanders
Hal positif kedua adalah Sanders menolong kita untuk memandang Judaism era second temple
secara tepat (maksudnya: harus seimbang). Dalam soteriologi
Second Temple Judaism ternyata bukan hanya ada aspek legalis namun juga ada aspek ‘anugerah
Allah.’ Jadi jika kita memandang bahwa Judaism
semata-mata adalah agama yang memandang keselamatan adalah karena ketaatan pada
hukum Taurat, maka kita telah salah kaprah. Walaupun dalam Judaism hal tersebut ada,
namun aspek ini bukan satu-satunya sudut pandang soteriologi yang muncul. Masih
ada gagasan bahwa untuk seseorang masuk dalam perjanjian, yang menjadi kuncinya
adalah anugerah Allah melalui pilihan dan penetapan-Nya. Juga gagasan adanya
kepastian keselamatan Israel
yang didasarkan atas anugerah Allah melalui kesetiaan-Nya pada perjanjian-Nya
menunjukkan bahwa Judaism tidaklah
murni legalistis.
Ketiga gagasan ketaatan yang dipandang sebagai dalam kerangka staying in memang benar ada dalam Judaism. Gagasan bahwa ketaatan pada
perintah Tuhan adalah konsekuensi seseorang yang telah ada dalam perjanjian
memang benar-benar ada dalam Judaism.
Demikian juga dengan gagasan penghukuman dan penghargaan yang dipandang bukan
dalam kerangka untuk mendapatkan atau menghilangkan keselamatan memang juga ada
dalam literatur second temple Judaism
walaupun sifatnya muncul dalam kitab-kitab tertentu.
Sumbangsih terbesar dari tulisan Sanders, menurut saya adalah
tulisan ini membuat kekeristenan harus berfikir ulang dan merumuskan
bagaimanakah kita harus memandang Judaism.
Jika selama ini kita hanya memandang Judaism
sebagai agama yang legalis, maka melalui tulisan dan gagasan Sanders, kita
tidak bisa lagi secara enteng memandang
seperti sebelumnya sebab ternyata gagasan anugerah dalam soteriologi mereka
cukup (bahkan sangat) kental.
Dalam sebuah buku, selain kelebihan-kelebihan tertentu, tentu ada
juga kelemahannya. (menurut saya) Ada
beberapa kelemahan, dari gagasan Sanders mengenai Covenantal Nomism. Pertama Sanders
sepertinya terlalu memaksakan gagasan Covenantal
Nomism-nya. Oleh sebab Sanders ingin membuat sebuah pola yang kerangka
soteriologinya tidak saling bertentangan maka aspek ketaatan pada hukum (yang
dalam berbagai kitab second temple
Judaism dipandang menentukan keselamatan seseorang) akhirnya
diinterpretasikan ulang atau disesuaikan dengan gagasan staying in sehingga membentuk sebuah kesan univocal bahwa keselamatan sebenarnya adalah anugerah Allah semata.
Akibatnya adalah a) aspek ketaatan pada hukum yang begitu marak
muncul dalam literatur Second Temple
Judaism hanya dipandang sebagai konsekuensi keberadaan dalam perjanjian dan
sebuah syarat untuk kehidupan yang diberkati (b) kerangka ancaman penghukuman
diartikan secara sempit, jika penghukuman itu terkait dengan penghakiman akhir,
maka Sanders mengartikan hal ini terkait dengan dosa keluar dari perjanjian dengan Allah namun jika penghukuman
tersebut terkait dengan dosa-dosa biasa, maka penebusan menjadi jalan
penyelesaiannya. Jadi penebusan akhirnya dikaitkan sebagai cara menyelesaikan
dosa yang tidak terkait dengan keselamatan. Menurut saya, interpretasi Sanders
terhadap literatur Second Temple Judaism
akhirnya menjadi eisegeis.
Kedua dalam bukunya Sanders selalu menekankan bahwa merit ‘jasa’ manusia tidaklah bisa
to earn ‘mendapatkan’
keselamatan. Namun yang dibicarakan oleh Sanders selalu dalam kerangka getting in ‘memasuki’ perjanjian. Persolan utama dari gagasan ini
[menurut saya] ada dua yakni (a) gagasan yang muncul secara marak dalam literatur
Second Temple Judaism bukanlah aspek
bagaimana seseorang masuk dalam perjanjian. Namun aspek yang tidak kalah
menonjol adalah bagaimana seseorang akhirnya dihukum Tuhan (keluar dari
keselamatan) oleh karena ketidaktaatan mereka pada hukum Tuhan ataupun
perjanjian Tuhan.[37]
(b) persoalan kedua adalah bisakah diterima bahwa problem hilangnya seseorang
dari keselamatan tidaklah dipandang sebagai aspek salvation ‘keselamatan?’[38]
saya kira tidak demikian. Keselamatan seharusnya
terkait dengan proses seseorang dari awal sampai akhir yang dalam keadaan
terselamatkan. Menurut saya, walaupun untuk memasuki keselamatan adalah karena
anugerah Allah melalui perjanjian, namun jika seseorang tidak setia pada Tuhan,
maka ia akhirnya dibuang dari perjanjian tersebut, maka yang menjadi kunci
keselamatan bagi seseorang tidaklah hanya dipandang dari pihak Allah saja namun juga dari pihak manusia. Jika kita melihat
dari pangkalnya maka (Sanders benar
bahwa) keselamatan adalah dari Allah namun
jika dilihat dari ujungnya maka
Sanders keliru sebab yang menenutukan keselamatan seseorang adalah kesetiaannya
pada perjanjian dengan Tuhan. Dilihat
dari pangkalnya maka salvation by grace namun jika dilihat dari ujungnya maka salvation by work. Sanders benar bahwa
ketaatan seseorang pada hukum memang tidak pernah bisa untuk earn salvation ‘mendapatkan keselamatan’
namun Sanders juga seharusnya dengan berani mengakui bahwa ketaatan pada hukum/perintah Tuhan walaupun tidak bisa earn salvation tetapi menentukan atau
menjadi syarat dari keselamatan seseorang.
Ketiga dalam tulisannya, Sanders, ‘pukul rata’ antara keselamatan dalam
konteks individual dan nasional.
Menurut saya kedua hal ini seharusnya dibedakan.[39]
Keselamatan Israel
sebagai sebuah bangsa memang adalah karena anugerah Allah melalui
perjanjianNya. Demikian juga keberadaan Israel sebagai sebuah bangsa juga
adalah karena anugerah Allah melalui kesetiaanNya pada perjanjian. Namun apakah
gagasan ini secara otomatis berlaku untuk individu Israel ? Jawabannya adalah belum
tentu. Tekanan yang utama dari literatur Second
Temple Judaism bahwa ketidaksetiaan dan ketidaktaatan seseorang pada Tuhan
serta hukum-hukumNya yang bisa
membuat seseorang dihukum ataukah tidak, menunjukkan bahwa secara individual
peran dan tindakan seseorang sangat menentukan keterhisapan mereka dalam
perjanjian Allah dengan Israel. Jadi yang membuat seseorang terhisap atau tidak
dalam perjanjian Allah dengan Israel
adalah tindakan atau ketaatan orang tersebut terhadap perintah-perintah Tuhan.
[1] Sanders, Paul and Palestinian
Judaism, 551-552.
[2] Sanders, Paul and Palestinian
Judaism, 75.
[3] Pembagian waktu yang Sanders gunakan yakni 200 SM - 200 M berbeda dengan
pembagian era Yudaisme BAK yang digunakan oleh pakar-pakar PB dan Yudaisme
lainnya. Yang dimaksudkan dengan Yudaisme BAK seharusnya adalah Yudaisme yang
ada pada abad ke 4 SM sampai abad 1 M, setelah abad 1 M Yudaisme memasuki fase
baru yang disebut dengan nama “Rabbinic
Judaism.” Persoalannya adalah “Rabbinic
Judaism” memiliki banyak perbedaan dari Yudaisme BAK. Untuk melihat
pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Mark A. Elliott, The Survivors of Israel: A Reconsideration
of the Theology of Pre-Christian Judaism (Grand Rapids : Eerdmans, 2000), 2-4; Philip S.
Alexander, “Torah and Salvation in Tannaitic Literature,” Justification and Variegated Nomism. Vol. 1, 262. Dengan demikian,
pembagian yang Sanders gunakan (200 SM - 200 M) nampaknya terkait dengan
penggunaan literatur Rabinik, yang memang dijadikan Sanders sebagai sumber
utama dari pembuktian pandangannya mengenai “covenantal nomism.”
[4] Sanders, Paul and Palestinian
Judaism, 236, berkata: “We conclude,
than, that there is a generally prevalent and pervasive pattern of the religion
to be found in Rabbinic literature… The best title for this sort of religion is
covenantal nomism.” Lalu waktu
Sanders membahas naskah Qumran , dalam
kesimpulannya pada hal. 320, Sanders berkata “thus the general pattern of religion which we found earlier in Rabbinic
literature is also present in Qumran .” Yang
terakhir, sewaktu Sanders menyimpulkan gagasan soteriologi yang ada dalam Apokrifa
dan Pseudepigrafa walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa “covenantal nomism“ ada dalam kelompok
kitab ini, namun secara implisit ia mengatakan demikian (dalam hal 421, 422,
423):
The uniformity of Judaism
on this point, as well as the unique position of IV Ezra among the literature
which remains, can be seen by considering the theme of God’s mercy. This is a
theme which, in all the literature surveyed except IV Ezra… The theme of God’s
mercy as being the final reliance of the righteous appears in all the
literature survey except IV Ezra… there
is agreement on the primacy of the covenant and it’s significance and on the
need to obey the commandments. The means of atonement are not precisely
identical, but there is agreement on the place of atonement within the total
framework.
[5] Elliott,The Survivors of Israel ,
3-4.
[6] Elliott, The Survivors of Israel ,
4.
[7] Sebagai catatan: pandangan Sanders mengenai covenantal nomism dalam soteriologi Yudaisme Rabinik telah
dibuktikan tidak tepat oleh F. Avemarie. Avemarie menulis monograph Tora und Leben, ia mengatakan konsep
keselamatan dalam Yudaisme Rabinik tidak secara konsisten dinyatakan melalui
anugerah, namun di sisi yang berbeda Rabinik juga memandang keselamatan
ditentukan oleh ketaatan pada hukum. Lih. Carson ,
“Summaries and Conclusions,” in Justification
and Variagated Nomism, 526.
[8] Lih. Sanders, Paul and
Covenantal Nomism, 422-423.
[9] Lih. Philip R. Davies, “Didactic Stories” in Justification and Variagated Nomism, 117-119.
[10] Lih. Peter Enns, “Expansions of Scripture” in Justification and Variagated
Nomism, 87.
[11] Lih. Gathercole, Where is
Boasting?, 41.
[12] Lih. Markus Bockmuehl, “IQS and Salvation at Qumran ”
in Covenantal Nomism and Variagated
Nomism, 394-397. Bockmuehl menemukan bahwa pilihan Allah bukanlah
semata-mata dasar dari soteriologi Qumran, mereka (komunitas Qumran )
juga memandang bahwa masuknya seseorang ke dalam ikatan perjanjian (komunitas
umat Allah) adalah atas dasar pilihannya sendiri.
[13] Sifra Num. 42 (45) dikatakan One
passage says, ‘The Lord lift up his countenance upon you (Num 6:26), and one
pessage says, ‘Who does not lift up his countenance’ (Deut. 10.17). How can
these two pessages be reconciled? when Israel
does God’s will, ‘he lifts up,’ and when Israel does not do his will, ‘he
does not lift up.’
[14] Realita keyakinan Rabbinic mengenai
ketaatan yang dilakukan bukan dalam rangka mencapai keselamatan terdapat dalam
perkataan R. Jose, R. Eleazar b. R. Zadok yang menegaskan bahwa ketaatan
seseorang pada hukum haruslah didasarkan atas motivasi yang benar dan lurus
yakni untuk Tuhan bukan untuk diri sendiri (baca: untuk mencari keselamatan
diri sendiri). Ini berarti para Rabbi memandang ketaatan pada hukum bukan untuk
mencapai keselamatan diri sendiri.
[15] Shebuoth 1:6f menyatakan bahwa untuk setiap dosa ada penebusan yang
menjadi solusinya. Selain itu dalam Mek. Mishpatim 10 (286; III, 87f) terdapat
keterangan bahwa bangsa Israel
pastikan akan mengalami penebusan. Lih. Sanders, Paul and Palestinian Judaism, 150.
[16] Yoma 8:8f; Mek. Bahodesh 7(227-9; II, 249-51, to 20.7); T. Yom
Ha-Kippurim.
[17] Bukti yang Sanders, Paul and
Palestinian Judaism, 169: munculkan dalam mendukung gagasan ini adalah a)
perkataan dari R. Akiba yang menegaskan bahwa penderitaan akan membawa mausia
pada pengampunan b) perkataan R. simon b. Johai yang mengatakan bahwa
penghukuman adalah sesuatu yang bernilai sebab penghukuman akan membawa pada
kehidupan di dunia yang akan datang. (maksudnya: membawa pada pertobatan) c)
perkataan R. Nehemiah yang juga menyatakan bahwa penghukuman adalah berharga sebab
akan membawa pada penebusan.
[18] Sanders, Paul and Palestinian
Judaism, 157.
[19] Lih. CD 3.19-14; IQS 5:11f; IQpHab 7:4f.
[20] Bukti yang Sanders angkat adalah IQS 9.4f menegaskan bahwa doa yang
benar menjadi persembahan yang harum bagi Allah; sementara itu dalam IQS 10.6
dikatakan mengenai mempersembahkan lidah. Demikian juga IQS 5.6 menyatakan
‘sikap orang-orang tertentu’ menjadi pengganti dari persembahan dalam rangka penebusan.
[21] Dalam IQS 2.26-3.4 dikatakan
bagi orang-orang yang mengeraskan hati (fasik), bagi mereka tidak ada
penebusan. Demikian juga dengan IQS 15:24 yang menyatakan bahwa tidak ada penebusan bagi orang fasik.
[22] Arguumentasi Sanders didasarkan atas IQS 9.3-5 yang menyatakan
penebusan itu adalah demi tanah Israel .
Istilah ini oleh Sanders diartikan sebagai tempat bagi orang-orang yang
telah ada dalam perjanjian. Jadi penebusan dilakukan supaya new community tetap terpelihara dalam
‘tanah yang dijanjikan tersebut,’ ini berarti supaya tetap ada dalam perjanjian.
[23] Beberapa data lain yang mendukung gagasan ini adalah IQpHab 5.3-6.
[24] Gagasan yang menyatakan bahwa keselamatan adalah karena anugrah
Allah misalnya saja muncul dalam IQH 4[=17]:18-22; 5[=13]:23; 6[=14:23-25;
7[=15]:16-20 yang menyatakan bahwa kebenaran seseorang adalah karunia dari
pembenaran Allah. Gagasan mengenai keselamatan yang adalah karena pilihan
individual terdapat dalam IQS 9:17-18 yang menyatakan bahwa mereka yang
termasuk (terhisap) dalam perjanjian adalah mereka yang choose the path, each one according to his spirit. Markus
Bockmuehl, “IQS and Salvation at Qumran ,” Justification and Variagated Nomism, (Tübingan/Grand
Rapids: Mohr Siebeck/Baker, 2001), p.
394, 395, 397, 399.
[25] Bdk. Everret Ferguson, Backgrounds
of Early Christianity (Grand Rapids: Eerdmans, 1993), p. 418; Donald E. Gowan,
“Wisdom,” Justification and Variegated
Nomism (Tübingan/Grand Rapids: Mohr Siebeck/Baker, 2001), p. 215-216.
[26] Buku Perumpamaan Henokh; The
Book Of Dreams dan Surat Henokh berasal dari era Kekeristenan. Bdk. Ferguson , Backgrounds of Early Christianity, p. 426; Richard Bauckham, “Apocalypses,”Justification and Variegated Nomism (Tübingan/Grand
Rapids: Mohr Siebeck/Baker, 2001), p. 137.
[27] Lih. Ferguson ,
Backgrounds of Early Christianity, p. 425; John C. Enrdras, Biblical Interpretation In The Book Of
Jubilees (Washington: The Catholic Biblical Association Of America, 1987),
p. 2.
[28] Lih. Ferguson ,
Backgrounds of Early Christianity, 433;
Daniel Falk, “Psalms and Payers,” Justification
and Variegated Nomism (Tübingan/Grand Rapids: Mohr Siebeck/Baker, 2001), p. 35.
[29] Lih. John J. Collins, The
apocalyptic Imagination: An Introduction to Jewish Apocalyptic Literature (Grand
Rapids: Eerdmans, 1988), p. 196.
[30] Teks yang diacu Sanders untuk membuktikan hal ini adalah Jubilee
22:11f.
[31] Teks yang Sanders jadikan dasar adalah ps. 15:11 yang berisikan
gambaran bagaimana setelah Abraham menerima perjanjian maka setiap laki-laki
kemudian disunatkan. Gagasan ini mencerminkan bahwa ketaatan pada perintah
Tuhan dilakukan setelah orang berada dalam perjanjian.
[32] Ps. 15:26-8
[33] Gagasan ini terdapat dalam ps. 3.8f, 13.5-7,9-10.
[34] Daniel Falk, “Psalms and Prayers,” p. 51,51.
[35] Bdk. Falk, “Psalms and Prayers,” pp. 7-8.
[36] Bdk. Roland Daines, “The Pharisees Between ‘Judaisms and ‘Common
Judaism’,” Justification and Variegated
Nomism (Tübingan/Grand Rapids: Mohr Siebeck/Baker, 2001), pp. 452-455.
[37] Gagasan ini terdapat dalam: a) soteriologi Qumran .
Lih. Bockmuehl, “IQS and Salvation at Qumran ,”
p. 395-396 b) Mazmur Salomo. Lih. Falk, “Psalms
and Prayers,” p. 41, 51 c) dalam Jubilee lih. Peter Enns, “Expansions of
Scripture,” p. 94-95 d) Yudith, lih. Philip R. Davies, “Didactic Stories,” p.
117-119 e) Tambahan kitab Ester. Lih. Peter Enns, “Expansions of
Scripture,” p. 86-87
[38] Bdk. Peter Enns, “Expansions of Scripture,” pp. 95, 97-98.
[39] Bdk. Falk, “Psalms and
Prayers,” p. 23-25; Peter Enns, “Expansions of Scripture,” pp. 95, 97-98.