Salah satu sumber persoalan dalam perdebatan soteriologi Yudaisme
BAK adalah persoalan devinisi. Devinisi yang tidak jelas atau tidak dipahami
secara seragam telah membuat perdebatan soteriologi Yudaisme BAK sukar untuk
diselesaikan. Oleh karena itu, dalam bagian pengantar, kita akan mendiskusikan
beberapa terminologi yang akan sering digunakan dalam pelajaran ini. Istilah-istilah
tersebut perlu didiskusikan terlebih dahulu, supaya kita dapat mengerti lingkup
dan konteks diskusi pelajaran ini dan menyeragamkan pengertian kita saat
mendiskusikan tema-tema ataupun pemikiran-pemikiran yang dikontribusikan dalam penelaahan
soteriologi Yudaisme BAK. Ada
empat istilah yang akan kita diskusikan yakni New Perspective, soteriologi,
Yudaisme BAK/Early Judaism/Late Judaism, dan legalis.
New Perspective
New Perspective (NP) adalah istilah yang digunakan untuk
mengidentifikasi kelompok pakar PB yang menolak pandangan gereja/pakar-pakar
sebelumnya (kelompok ini kemudian disebut dengan istilah kelompok tradisional)
mengenai 1) Yudaisme era Yesus dan Paulus yang sebelumnya dinilai legalis, 2)
hal apa yang dilawan Paulus dalam surat Roma dan Galatia sehingga muncul ajaran
pembenaran oleh Iman, NP menolak pandangan tradisional yang memandang munculnya
ajaran legalis-lah yang menjadi konteks ajaran pembenaran.[1]
Besarnya pengaruh pandangan New Perspective dalam pemikiran pakar-pakar biblika
masa kini membuat Seyoon Kim menyebut pandangan ini sebagai “school of thought,”
yang pengaruhnya bahkan lebih besar dari pemikiran Bultmann.[2]
Respon para pakar mengenai pandangan inipun sangatlah beragam.
Sebagian pakar menolaknya, sebagian menerimanya dan sebagian lain mengadopsi
sebagian saja dari pandangan ini.[3]
Ketidakseragaman pandangan pakar-pakar mengenai pandangan New Perspective
membuat diskusi ini tetap hangat hingga sekarang. Penjelasan lebih lanjut
mengenai New Perspective, akan dibahas kemudian.
Soteriologi
Istilah soteriologi penting dan perlu untuk didiskusikan sebab istilah
tersebut digunakan untuk merumuskan konsep keselamatan dari Yudaisme BAK.
Sebenarnya, E. P Sanders (sebagai salah satu tokoh utama dalam pandangan New
Perspective) menghindari penggunaan istilah soteriologi dalam membicarakan
konsep keselamatan Yudaisme BAK ,
ia lebih memilih menggunakan
istilah “pattern of religion.”[4]
“Patern of religion” adalah konsep atau keyakinan suatu agama dalam memandang
hal apa yang menjadi syarat untuk (i) masuk ke dalam (getting in) keselamatan
(ii) tetap tinggal (staying in) dalam keselamatan. Meskipun demikian, berbeda
dengan Sanders, pakar-pakar PB dan Yudaisme tetap menggunakan istilah
soteriologi, namun sayangnya penggunaan istilah tersebut sering kali tidak
dijelaskan atau didevinisikan.
Apakah mendevinisikan atau merumuskan pengertian atau konsep yang ada
dibalik istilah “soteriologi” itu penting? Hal tersebut tentu sangat penting,
perdebatan antara pandangan New Perspective dan lawan-lawannya sukar mencapai
titik temu, salah satunya disebabkan ketidakjelasan dari penggunaan istilah
soteriologi yang didiskusikan.[5]
Walaupun baik New Perspective maupun lawan-lawannya menggunakan istilah
“soteriologi” yang sama, namun pengertian dan konteks pemahamannya berbeda. Belum
lagi adanya perbedaan antara “soteriologi” Kristen dan Yudaisme BAK,
kecenderungan menggunakan istilah yang sama untuk dua agama yang berbeda bisa
menimbulkan kesalahmengertian.[6]
Misalnya saja, walaupun Yudaisme BAK dan Kristen sama-sama menekankan anugerah
Allah, namun apakah pengertian anugerah dalam Kristen dan Yudaisme BAK sama?[7]
Contoh yang lain adalah pandangan New Perspective mengatakan Yudaisme BAK
bukanlah penganut ajaran legalis sebab mereka memandang election “pemilihan” sebagai dasar dari masuknya Israel (umat Allah) ke dalam
keselamatan.[8] Dengan
demikian, bagi pandangan New Perspective, soteriologi pada dasarnya terkait
dengan bagaimana seseorang masuk ke dalam
perjanjian. Sebaliknya, kelompok tradisional mengatakan soteriologi
Yudaisme BAK adalah agama yang legalis sebab Yudaisme BAK memandang, tanpa
ketaatan pada hukum (nomo~) Tuhan, maka mereka (bangsa Israel/umat Allah) tidak mungkin akan
tetap tinggal/terpelihara dalam perjanjian dengan Allah.[9]
Jadi, kita melihat, dalam konteks pemahaman lawan-lawan Sanders, soteriologi
terkait dengan aspek bagaimana seseorang pada akhirnya diselamatkan.
Bagaimanakah kita harus memahami istilah soteriologi? dilihat dari
terminologinya (morphologi/pembentukan kata), istilah “soteriologi” dapat
diartikan ilmu mengenai keselamatan atau ilmu mengenai karya penebusan Allah
dalam kehidupan umat Tuhan.[10]
Selain dari pengertian di atas, soteriologi (dalam konteks perdebatan dengan
pandangan New Pespective) dapat juga diartikan sebagai rumusan keyakinan/konsep
suatu agama mengenai keselamatan.
Sebelum kita lebih lanjut mendiskusikan penerapan istilah
soteriologi pada Yudaisme BAK, ada beberapa hal yang harus kita pikirkan,
yakni:
1.
Apakah soteriologi/konsep
keselamatan itu terkait dengan bagaimana seseorang masuk ke dalam keselamatan
atau terkait juga dengan bagaimana seseorang tetap tinggal dalam keselamatan
(tinggal dalam perjanjian “covenant”)?[11]
Jika memang konsep mengenai keselamatan (soteriologi) dipahami sebagai masuknya
seseorang dalam ikatan perjanjian, maka konsep keselamatan (soteriologi) pada
dasarnya tidak berbeda dengan ekklesiologi. Apakah pengertian dari orang yang
diselamatkan = orang yang masuk dalam perjanjian, dan orang yang tidak
diselamatkan = orang yang berada diluar berjanjian/dikeluarkan dari perjanjian.
2.
Apakah rumusan/konsep
keselamatan terutama terkait dengan konsep atau keyakinan yang merupakan
jawaban dari pertanyaan “bagaimana persoalan dosa diselesaikan?” Jika kita
memandang konsep keselamatan seperti ini, maka soteriologi pada dasarnya adalah
kelanjutan atau jawaban dari hamartiologi (persoalan dosa).
3.
Apakah orang-orang Yahudi,
demikian juga Paulus, mempunyai konsep mengenai keselamatan, yang oleh orang
zaman sekarang disebut sebagai soteriologi?
Apakah Yudaisme memiliki konsep mengenai bagaimana Israel dapat masuk ke dalam ikatan
perjanjian dengan Allah? Ya, mereka mempunyai rumusan akan keyakinan tersebut.[12]
Apakah mereka memiliki konsep mengenai bagaimana supaya Israel tetap tinggal dalam
perjanjian dengan Allah? Ya mereka mempunyai konsep tersebut.[13]
Apakah Yudaisme mempunyai konsep mengenai bagaimana dosa diselesaikan? Ya
mereka mempunyai konsep tersebut namun dibicarakan dalam konteks bangsa yang
telah menjadi umat Allah.[14]
Apakah Yudaisme mempunyai konsep mengenai bagaimana orang bukan Yahudi dapat
masuk dalam ikatan perjanjian dengan Tuhan? Ya, mereka memilikinya.[15]
Apakah Yudaisme mempunyai konsep mengenai bagaimana dosa seorang bukan Yahudi
harus diselesaikan sebelum mereka memasuki perjanjian dengan Allah? Ya mereka
mempunyainya.[16]
Persoalannya adalah soteriologi ternyata merupakan konsep yang
sangat lentur, jawaban akan berbeda jika dilihat dari pertanyaan yang berbeda.
Jika kita bertanya bagaimana konsep soteriologi Yudaisme dilihat dari bagaimana
Yudaisme memandang diri mereka masuk dalam perjanjian dengan Allah? maka
jawabannya adalah mereka meyakini masuk dalam perjanjian karena “election.”
Namun, jika kita bertanya bagaimanakah konsep soteriologi Yudaisme BAK
dilihat dari pandangan mereka terhadap orang-orang bukan Yahudi yang ingin
masuk dalam ikatan perjanjian dengan Allah? maka mereka menjawab solusinya
adalah pertobatan dan sunat. Apakah konsep “election” juga diterapkan bagi
bangsa-bangsa bukan Yahudi yang hendak masuk dalam agama Yahudi? nampaknya
tidak demikian. Jadi, kita melihat sebuah pertanyaan yang sama, yakni mengenai
bagaimana seseorang masuk dalam ikatan perjanjian dengan Allah, dapat memiliki
dua jawaban yang berbeda, tergantung dari siapa yang ditanyakan masuk dalam
ikatan perjanjian.
Jadi, adalah tidak mungkin membuat rumusan soteriologi Yudaisme BAK
berdasarkan kategori soteriologi masa kini, pilihannya adalah soteriologi
Yudaisme BAK harus dipahami dalam ‘aspek-aspek kecilnya’ (misalnya terkait
dengan aspek ‘getting in’ atau ‘staying in’ atau ‘final vindication’ dst).
Yudaisme BAK
(Bait Allah Kedua)
Istilah ‘late Judaism’ sekarang ini tidak lagi/jarang digunakan oleh
para pakar PB maupun Yudaisme, sebab istilah tersebut mengidikasikan bahwa
Yudaisme era paska pembuangan sampai awal abad pertama Masehi sebagai Yudaisme
yang terakhir, dan kemudian digantikan dengan kekristenan.[17]
Pandangan tersebut tentu saja salah sebab setelah era abad pertama masehi
Yudaisme BAK tidak hilang, ada dua gerakan dalam Yudaisme BAK yang berhasil
bertahan dan melanjutkan eksistensinya yakni Kristen dan Yudaisme Rabinik.[18]
Memang tidak semua pakar setuju dengan pandangan di atas, bahwa kekristenan
adalah bagian dari Yudaisme, misalnya saja Francis Watson, ia memandang
kekristenan adalah agama baru, Rasul Paulus mengarahkan kekristenan supaya
berpisah dengan Yudaisme, tiga ciri dari sebuah sekte (aliran yang terpisah)
yakni 1) pengutukan atas pandangan yang lama 2) antitesis antara pandangan yang
dinilai benar dan pandangan lama yang dinilai salah 3) reinterpretasi
bagian-bagian Alkitab yang selama ini menjadi mendukung dari pandangan lama.[19]
Pandangan Watson memiliki kelemahan dalam hal persamaan yang ada
antara Paulus dan Yudaisme. Walaupun dalam surat-suratnya, Paulus sering kali
menyerang lawan-lawannya yang merupakan kelompok Kristen Yahudi (misalnya saja
dalam surat Galatia ), namun Paulus tetap
memiliki kesejajaran pandangan dengan gerakan-gerakan laiannya dalam Yudaisme
BAK. Misalnya, pandangan Paulus tentang penghakiman akhir, bahwa perbuatan
manusia akan menjadi ukuran dalam penghakiman, merupakan pandangan yang bukan
hanya dimiliki oleh Paulus namun juga oleh gerakan-gerakan lain dalam Yudaisme.[20]
Demikian juga pandangan Paulus tentang anugerah dan keberdosaan, ada persamaan
diantara Paulus dengan penulis IV Ezra, walaupun solusi yang diberikan atas
persoalan tersebut berbeda.[21]
Jadi, selain hal-hal yang membedakan kekristenan dengan Yudaisme BAK,
sebenarnya ada hal-hal tertentu yang menjadi persamaan diantara mereka,
sehingga kita harus memikirkan ulang apakah kekristenan adalah salah satu
“sekte” dalam Yudaisme BAK atau merupakan sebuah gerakan reformasi dalam
Yudaisme BAK.
Demikian juga dengan istilah ‘early Judaism,’ istilah itu pun
nampaknya mulai tidak digunakan sebab istilah tersebut mengidikasikan bahwa
Yudaisme adalah saingan dari ‘early Christianity.’[22]
Istilah ‘early Judaism’ digunakan untuk mengidentifikasi gerakan abad pertama
yang merupakan lawan dari ‘early Christianity.’ Persoalannya adalah gerakan
yang bersaing dengan kekristenan bukanlah ‘early Yudaisme,’ namun gerakan
Esseni, Farisi, Hasmonean, Apokaliptik, Rabinik, Samaritanisme, dst. Kalaupun
kita mau melihat dua gerakan yang bertahan setelah paska tahun 70M, maka
gerakan tersebut bukanlah early Judaism dan
early Christianity, namun Rabbinic Judaism dan early Christianity. Jadi penggunaan
istilah early Judaism untuk
mengidentifikasi Yudaisme era abad pertama Masehi nampaknya kurang tepat.
Istilah yang nampaknya lebih tepat adalah Yudaisme bait Allah kedua
(second tample Judaism). Istilah tersebut mengindikasikan bahwa Yudaisme yang
dibicarakan adalah Yudaisme setelah pembangunan bait Allah yang kedua selesai.
Bait Allah yang kedua dibangun oleh Ezra dan Nehemia, jadi Yudaisme yang
dibicarakan menunjuk pada Yudaisme setelah masa/era Ezra-Nehemia sampai kepada
abad pertama Masehi. Ezra dan Nehemia, membangun Bait Allah Kedua yang selesai sekitar
tahun 515 SM[23]
dan kehancuran bait Allah kedua terjadi pada tahun 70M. Frederick J. Murphy
menjelaskan Yudaisme BAK terbagi tiga era yakni: 1) Yudaisme era Persia
(539 SM-333 SM), 2) era Helenisasi (333 SM-63 SM), 3) era Romawi (63 SM-70 M).[24]
Beberapa pakar tidak sependapat dengan pandangan di atas, misalnya
saja, Boccaccini memandang, Middle Judaism adalah istilah yang tepat untuk
menyebut Yudaisme BAK, dan ia mengkategorikan Middle Judaism pada era 300 SM -
200 M. E. P. Sanders malah mengidentifikasi Yudaisme BAK dari era tahun
200SM-200M. Perbedaan interpretasi batasan era mengenai Yudaisme BAK memang
sangat dipengaruhi oleh krateria pembagian era tersebut. Jika krateria
pembagian didasarkan atas historisitas, maka tahun 70 M adalah batas akhir dari
era tersebut, sebab di tahun itulah Bait Allah kedua dihancurkan. Namun, jika
ukuran pembagian didasarkan pada ‘perkembangan pemikiran’ maka tahun 200 adalah
titik akhir bagi berbagai pandangan dalam Yudaisme selain dari kekristenan dan
rabinik. Pada tahun itulah (200 M) pemikiran Yudaisme dipengaruhi dan didominasi
oleh gerakan rabinik, itulah sebabnya, era tersebut dinamai sebagai “Rabbinic
Judaism.”
Legalis
Salah satu perdebatan yang muncul dalam soteriologi Yudaisme BAK
adalah apakah mereka legalis ataukah tidak. Tentu istilah legalis sendiri tidak
ada dalam perbendaharaan kata masyarakat Yahudi BAK, namun istilah itulah yang
digunakan dan diperdebatkan oleh pakar-pakar PB dan Yudaisme di era modern dan
paska-modern dalam menilai soteriologi Yudaisme BAK.
Apakah arti dari istilah legalis? Dalam bukunya, Sanders berulang
kali menegaskan, Yudaisme BAK tidak legalis, sebab mereka tidak pernah
memandang ketaatan kepada hukum (nomo~) sebagai upaya untuk membeli
keselamatan.[25]
Dengan demikian, bagi Sanders lagalis terkait dengan aspek ‘getting in,’
Yudaisme dapat dikatakan legalis jika mereka memandang bahwa mereka masuk ke
dalam keselamatan karena jasa/perbuatan baik mereka. Sedangkan bagi Carson dkk, legalis
terkait bukan saja aspek ‘getting in’ namun ‘staying in,’ walaupun Yudaisme BAK
memandang bahwa mereka masuk ke dalam keselamatan karena election, namun oleh
karena mereka memandang bahwa ketaatan pada hukum adalah kunci untuk
bertahannya mereka dalam perjanjian dengan Allah, maka Yudaisme BAK adalah
lagalis.[26]
Istilah legalis atau legalisme bukanlah
istilah baku ,
itulah sebabnya pengertian dari istilah tersebut tidak dicantumkan dalam kamus.
Meskipun demikian, istilah legalis terkait dengan ‘hukum.’ Agama Legalis atau
legalisme bisa dimengerti sebagai agama yang memiliki keyakinan yang sangat
menekankan ketaatan pada berbagai perturan agamawi mereka. Persoalannya adalah
jika istilah legalis digunakan dalam konteks yang demikian maka semua agama
pada dasarnya adalah legalis, termasuk kekristenan.
Istilah legalis yang digunakan untuk mengidentifikasi Yudaisme BAK, sepertinya
muncul dalam konteks tuduhan bahwa Yudaisme BAK meyakini ketaatan pada hukum
sebagai syarat untuk keselamatan. Istilah lain yang biasa digunakan untuk
mengidentifikasi pandangan ini adalah ‘merit theology’ atau ‘self
righteousness.’ Persoalannya adalah jika istilah legalis digunakan untuk
mengidentifikasi agama yang menyakini ‘hal apakah yang pada akhirnya
menyelamatkan manusia,’ maka baik Yudaisme maupun Kristen juga adalah agama
yang legalis, sebab dalam konteks penghakiman akhir, perbuatanlah yang menjadi
ukuran.[27]
Hal yang sama dari gambaran di atas adalah baik Paulus maupun
Yudaisme BAK sama-sama memandang bahwa ada aspek yang harus ada dalam diri
manusia jika ia memang ingin masuk dalam ikatan perjanjian, hanya saja komponen
yang harus ada dalam orang tersebut dipandang berbeda oleh Paulus dari Yudaisme
BAK. Paulus memang memandang bahwa ‘sunat’ bukan syarat dari keselamatan namun
baptisan-lah yang menjadi syaratnya. Mengapa demikian? sebab Paulus memandang
sunat berbeda dengan baptisan, walaupun keduanya adalah sama-sama syarat namun
berbeda maknanya. Bagi Paulus baptisan adalah bersatunya orang tersebut dengan
Kristus, namun sunat adalah syarat untuk menjadi seorang Yahudi. Jadi, Paulus
memandang untuk seseorang diselamatkan maka orang harus bertobat dan bersatu
dengan Kristus, sedangkan bagi Yudaisme, untuk seseorang bertobat, maka orang
tersebut harus bertobat dan menjadi seorang Yahudi.
Disinilah persoalan Yudaisme BAK menurut Paulus, jadi kalaupun
Paulus, kita katakan menyerang Yudaisme sebagai agama yang legalis (istilah
yang digunakan oleh pakar modern), maka itu karena Yudaisme
memaksakan/mengharuskan tuntutan untuk menjadi seorang Yahudi sebagai syarat
keselamatan.[28]
Jadi, kalaupun istilah legalis, kita ingin gunakan dalam pembahasan
kita, maka konteks dan konten dari istilah tersebut haruslah jelas. Legalis
bukan terkait dengan tuntutan untuk melakukan hukum, juga bukan terkait dengan
kontribusi dari pihak manusia dalam konteks karya keselamatan Allah, namun
terkait dengan pemaksaan sunat sebagai syarat bagi keselamatan.
[1] Lih. Michael F. Bird, The
Saving Righteousness of God: Studies on Paul, Justification, and the New
Perspective, Paternoster Biblical Monographs (Oregon : Wipf & Stock, 2007), 2-3.
[2] Seyoon Kim, Paul and the New
Perspective: Second Thought on the Origin of Paul Gospel, (Grand Rapids : Eerdmans, 2002), xiv.
[3] Lih. Chandra Gunawan, “Soteriologi Yudaisme Bait Allah Kedua,” Veritas 10/2 (Oktober 2009), 208-209.
[4] Lih. E. P. Sanders, Paul and
Palestinian Judaism: A Comparison of Patterns of Religion (Minnepolis:
Fortress, 1977), 17.
[5] Bdk. Simon J. Gathercole, Where
is Boasting? Early Jewish Soteriology and Paul’s Response in Romans 1-5 (Grand Rapids : Eerdmans,
2002), 21-22.
[6] Ibid., 22.
[7] Ibid., 22.
[8] Lih. G. Walter Hansen, Abraham
In Galatians: Epistolary and Rhetorical Contexts, JSNTSMS 29 (Sheffield:
JSOT, 1989), 176.
[9] Lih. D. A. Carson “Summaries and Conclusion,” Justification and Variegated Nomism Vol 1: The Complexities of Second Temple Judaism
(Grand Rapids :
Baker/Tubingan: Mohr Siebeck, 2001), 544-545.
[10] Lih. Anthony A. Hoekma, Diselamatkan
Oleh Anugerah, Terj (Jakarta :
Momentum, 2006), 1.
[11] Bdk. Millard J. Erickson, Christian
Theology, 2nd ed. (Grand Rapids: Baker, 1983), 903.
[12] Lih. Chandra Gunawan, “Evaluasi Perdebatan James D. G. Dunn dan
Simon J. Gathercole diseputar Isu New Perspective,” Jurnal Amanat Agung 5/1 (Juni 2009), 19-20.
[13] Lih. Gunawan, “Soteriologi Yudaisme Bait Allah Kedua,” 216-230.
[14]Lih. Bruce W. Longenecker, Eschatology
and the Covenant: A Comparison 4 Ezra and Romans 1-11, JSNTSMS 57
(Sheffield: JSOT, 1991), 23-27.
[15] Lih. Chandra Gunawan, Kontribusi
Penelitian Konsep Sunat Dalam Perdebatan Soteriologi Yudaisme Bait Allah Kedua,
MTh Tesis (Cipanas: STTC, 2009), 94-114.
[16] Ibid.
[17] Bdk. Shaye J. D. Cohen, From
the Maccabees to the Mishnah, Library of Early Christianity (Philadelphia:
Westminster, 1987), 19; Gabiele Boccaccini, Middle
Judaism: Jewish Thought 300 B.E.C to 200 C.E. (Minneapolis: Fortress,
1991), 21.
[18] Bdk. Boccaccini, Middle Judaism,
18-21.
[19] Lih. Francis Watson, Paul,
Judaism, and Gentile: A Sociological Approach, STNSMS 56 (Cambrige:
Cambridge University Press, 1986), 178.
[20] Lih. Gathercole, Where is
Boasting?, 134-135.
[21] Lih. Longenecker, Eschatology
and the Covenant, 22, 270-271.
[22] Boccaccini, Middle Judaism, 22.
[23] H. Wayne House, Charts of the
New Testament: Chronological and Background (Grand Rapids: Zondervan,
1981), 52.
[24] Frederick J. Murphy, “Second Temple Judaism,” The Blackwell Companion to Judaism, eds. Jacob Neusner & Alan J. Avery-Peck (Oxford: Blackwell,
2000), 58-59:
[25] E. P. Sanders, Paul and
Palestinian Judaism, 141, 147, 180, 293,295, 312, 320, ext.
[26] Lih. Peter Enn, “Expansions of Scripture,” Justification and Variagated Nomism Vol 1, 97-98; D.A. Carson,
“Summaries and Conclusions,” Justification
and Variagated Nomism Vol 1, 543-548.
[27] Bdk. James D. G. Dunn, New
Perspective on Paul, rev. ed. (Grand
Rapids : Eerdmans, 2008), 79.
[28] Lih. Chandra Gunawan, “Rekostruksi terhadap Insiden Galatia dan
Aplikasinya Bagi Pergumulan Gereja Masa Kini mengenai Perbedaan Etnis.” Stulos 8/2 (September 2009), 235-250.