James D. G. Dunn--profesor PB dari Durham University--menjelaskan
ada dua pandangan [dua kecenderungan pandangan] yang berbeda dalam mengartikan gagasan
Perjanjian Baru. Pandangan pertama mengatakan
The New Testament is a collection of
historical documents-in fact, most of the Christian writing from the first
century of our era; dan pandangan kedua
mengatakan Perjanjian Baru adalah Firman Allah.[1]
Dari devinisi yang pertama,
kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan ini menilai Perjanjian Baru hanya
sebagai sebuah catatan peristiwa atau sejarah mengenai kekristenan mula-mula
atau mengenai Yesus dan pengikut-pengikut-Nya. Meskipun demikian, apakah
Perjanjian Baru hanya sekedar buku sejarah?
Dalam Yohanes 20:31 dituliskan sbb:
Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata
murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang
tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias,
Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.
Dalam bagian penutup injilnya, Yohanes
dengan eksplisit menyatakan bahwa tujuan dari karyanya (tulisannya) adalah
supaya pembacanya percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah dan supaya
dengan iman dan kepercayaan pembacanya kepada Yesus, maka mereka beroleh hidup
yang kekal [baca: keselamatan]. Bukankah pernyataan di atas memperlihatkan
bahwa tujuan dari kepenulisan kitab Perjanjian Baru (dalam hal ini injil
Yohanes) bukan sekedar ingin memaparkan peristiwa sejarah tertentu?
Di sisi yang lain, kelompok orang yang memandang Perjanjian Baru
hanya sebagai Firman Allah, juga patut untuk kita analisa pemikirannya.
Bukanlah dalam literatur Perjanjian Baru di dalamnya juga dicatat mengenai
sejarah baik itu gereja maupun sejarah pelayanan para rasul? Bahkan, bukankah
buku tertentu dalam PB ada yang dituliskan untuk memaparkan aspek sejarah.
Selain itu, jika aspek sejarah dalam literatur Perjanjian Baru tidak ril, bagaimana
teologi atau ajarannya dapat dipercaya sebab ajaran Perjanjian Baru didasarkan
atas peristiwa sejarah dari karya Yesus dan Roh Kudus dalam dunia ini.
Dalam Lukas 1:1-4 dituliskan demikian:
Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita
tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang
disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan
pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan
seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan
teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang
diajarkan kepadamu sungguh benar.
Dari injil Lukas, kita melihat bahwa kebenaran sejarah dari
Perjanjian Baru dipandang penting oleh penulis Perjanjian Baru (salah satunya
adalah Lukas), yang menuliskan injilnya bukan sekedar untuk memperlihatkan
kebenaran ajaran Yesus, namun juga untuk memperlihatkan kebenaran kesejarahan
pelayanan Yesus maupun Roh Kudus dalam gereja mula-mula.
Jika demikian, bagaimanakah kita harus memandang literatur
Perjanjian Baru itu? Apakah kita harus memandang literatur Perjanjian Baru
sebagai a collection of historical
documents ataukah sebagai a
collection of theological documents? Jawaban dari pertanyaan tersebut
adalah kita seharusnya memandang literatur Perjanjian Baru sebagai a collection of historical and theological
documents. Ini berarti kesejarahan dan teologi/ajaran dari Perjanjian Baru
tidak dapat dipisahkan. Literatur Perjanjian Baru adalah sebuah catatan
historis yang memuat kerangka atau sudut pandang teologis tertentu (historis
teologis) atau sebuah catatan teologis yang dituliskan berdasarkan satu
peristiwa sejarah tertentu (teologis historis).
[1] James D. G. Dunn & James P. Mackey, New Testament Theology In Dialoge: Christology & Ministry (Philadelphia:
Westminster, 1987), 1.